bonjparoles

Semua berjalan lancar sesuai dengan rencana Keanu. Mulai dari makan malam berdua, menyantap es krim yang dibeli dari food truck, dan kini mereka berdua sedang berjalan menyusuri pinggir kota. Menikmati hembusan angin serta gemilangnya malam. Bintang pada hari ini terlihat begitu terang sama seperti orang yang selalu Keanu puja.

Harvey mulai merasa dirinya terus menerus diperhatikan. Dengan cepat ia menolehkan wajahnya dan bertanya mengapa Keanu terus menatap ke arah dirinya. Harvey takut ada sesuatu berada di wajahnya. Sementara Keanu ingin sekali menjawab kalau dirinya penggemar berat sesosok manusia indah bernama Harvey Sastroardiya. Namun kalimat tersebut enggan diutarakan. Takut kalimatnya hanya dianggap sebagai angin lewat oleh Harvey.

He adores someone who is adored by many. Bukan hanya dirinya saja yang kagum, masih banyak orang lain yang mengantri untuk melontarkan pujian kepada Harvey.

“Ken.”

Keanu masih setia pada diamnya dalam mengagumi Harvey yang ditatap mulai merinding ngeri. “Lu nggak lagi dirasukin kan?” Harvey memasang wajah takut. Ponsel di tangannya sudah sangat siap ia lempar sewaktu-waktu Keanu mengamuk karena tiba-tiba dirasuki roh jahat

Tak kunjung mendengar jawaban akhirnya Harvey memilih untuk berlari kecil menjauhi Keanu. Tapi jaraknya tak kunjung melebar karena Keanu ikut mengejarnya. Larinya cepat sekali hingga hampir menyusul langkahnya. Ingatkan Harvey kalau Keanu tidak hanya pintar dalam pelajaran tetapi juga seseorang yang sangat atletis.

Gotcha!” Keanu berhasil meraih kedua bahu Harvey dan menghentikan sesi olahraga singkat mereka. Napas keduanya memburu. Saat napas Keanu sudah jauh lebih stabil, Harvey masih sibuk mengatur pasokan udaranya.

Merasa kasihan melihat Harvey yang kelelahan mata Keanu dengan cepat mencari mencari penjual air minum. Pas sekali ada seseorang yang berjualan air mineral tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Keanu langsung menghampiri orang tersebut dan menyerahkan satu lembar uang untuk membeli minum. Kemudian berjalan lagi ke arah Harvey dan menyerahkan minuman.6

“Thanks, Ken. Tadi pengen pingsan.”

“Makanya jangan olahraga mendadak.”

“Abisnya lu tiba-tiba diem. Siapa yang gak takut.”

Keanu kembali tak berkata apa-apa. “Tuh kan diem lagi. Lu kenapa deh.” Harvey kembali bergidik ngeri.

“Sengaja. Biar lu takut,” candanya.

“Nggak lucu, Keanu Naryatama.”

Ia tertawa melihat reaksi Harvey yang setengah ketakutan setengah kesal. “Yuk balik. Udah malem.” Ia genggam tangan kanan Harvey. Sang pemilik tangan hanya bisa menatap telapak tangannya yang digenggam dengan erat.

Matanya kini tertuju pada wajah Keanu. Harvey merasa Keanu hari ini bekali-kali lipat lebih menawan. Rambut hitamnya yang ditata dengan pomade, berbeda dengan saat di sekolah. Harvey membayangkan akan sebanyak apa orang yang suka dengan Keanu jika rambutnya ditata seperti sekarang.

Terlalu larut dalam pikirannya Harvey sampai tidak sadar kalau genggaman tangannya sudah terlepas. Kini tangan Keanu menggenggam setangkai bunga mawar merah yang dijulurkan kepadanya. Tidak terbalut apa-apa, murni satu tangkai bunga mawar. Harvey ambil mawar tersebut dan ia tatap wajah Keanu dengan bingung. Kapan mawar ini dibawa oleh Keanu dan ditaruh di mana.

“Metik punya tetangga,” jawab Keanu seolah paham dengan pertanyaan di benak Harvey.

“Serius? Emangnya tetangga lu nggak marah?” Harvey dan sifat mudah percayanya membawa senyum pada wajah Keanu. “Nggak lah gua beli.”

“Kirain,” ucap Harvey merasa lega.

“Udah selesai bengongnya?”

“Hah?”

“Dari tadi bengong aja. Hampir aja tadi mawarnya hampir melayang ke muka lu.” Tapi ia tidak setega itu untuk melukai Harvey.

Detik berikutnya bahu Keanu menjadi korban kekerasan bunga mawar yang dilakukan oleh saudara Harvey. “Ini masih jauh gak? Perasaan tadi pas lari nggak jauh-jauh amat.” Harvey mengeluh karena kakinya mulai menunjukan tanda-tanda kram.

“Sebentar lagi kok. Yuk jogging lagi biar cepet sampe mobil.”

Belum sempat protes tangannya yang memegang mawar sudah diraih. Mereka hanya berjalan dengan tempo lebih cepat karena sebenarnya Keanu juga lelah kalau harus berlari kecil kembali. Sebelum sampai di mobil Harvey mengambil kesempatan untuk mengabadikan momen di antara dirinya dan Keanu.

Harvey sedang tertidur saat ibunya mengguncang dirinya yang sedang berada di alam lain dan berkata ada seorang teman yang datang berkunjung. Dengan langkah kikuk khas orang baru bangun tidur, Harvey turun ke lantai bawah untuk menemui tamunya. Jiwanya masih belum sepenuhnya bangun karena terpaksa sadar secara tiba-tiba.

Ia tidak mau berpikir siapa yang datang. Kalau Nancy pasti perempuan itu sudah langsung masuk ke kamarnya tanpa repot-repot dibukakan pintu. Tapi firasatnya berkata kalau tamunya bukanlah Nancy.

Harvey—dengan penampilan yang acak-acakan, kaus lecek, celana pendek sepaha, dan rambut bagai sarang burung—terpana kaget saat melihat Keanu dengan pakaian rapi dibalut jas, kemeja putih, dan celana bahan. Pria itu duduk di ruang tamu dengan senyuman khas miliknya.

Malu dengan keadaannya Harvey cepat-cepat menyembunyikan wajah kucelnya di balik kedua tangannya. “Kok dateng ga bilang dulu? Malu banget guanya acak-acakan begini.”

“Hehehe sorry. Niatnya mau surprise tapi kayanya salah timing.”

“Salah banget, Keanu!!!”

Keanu menghampiri Harvey yang sedang berdiri. “Ganti baju dulu sana, gue mau ajak lu dinner.”

Harvey mengangguk. “Sini ikut aja ke kamar gue. Jangan kaya orang asing duduk di ruang tamu sendirian.” Keanu mengekori Harvey dari belakang. Ia mendudukan diri di kursi belajar sambil menunggu Harvey bersiap-siap.

“Udah siap?” tanya Keanu setelah melihat Harvey dengan pakaian rapi dan rambut yang tidak menyerupai sarang burung lagi. “Sebentar, pake parfum dulu.” Disemprotkannya parfum itu di beberapa titik badannya.

Let's go.”

Wait, gue izin sama mami lu dulu,”, ucap Keanu saat melihat calon mertua, ralat, ibunya Harvey di ruang tamu.

“Tante, aku izin bawa Harvey buat makan malam di luar, boleh?” pinta Keanu.

Sang ibu tersenyum, “Bawa aja Harveynya, tante bosen liat dia di rumah mulu.” Harvey yang mendengar perkataan ibunya langsung merajuk. Ibunya dan Keanu tertawa kecil melihat tingkahnya.

“Terima kasih, Tante.”

“Sama-sama…”

“Keanu. Nama saya Keanu. Maaf lupa perkenalan diri.”

“Nggak apa-apa. Tante titip Harvey, ya, Keanu.” Keanu mengangguk dan berpamitan sekali lagi sebelum keluar menuju mobilnya. Harvey memeluk ibunya sebelum melangkahkan kakinya keluar dari rumah.

Keanu membukakan pintu mobil untuk Harvey, “Silahkan, Tuan muda.”

“Terima kasih, Pak supir yang baik.”

“Vey, ada yang bingung nggak?” hening menyelimuti. “Vey,”ulangnya. Tidak kunjung mendapat jawaban, seorang siswa yang sedang membaca buku ekomomi milik saudaranya mengalihkan pandangannya pada layar monitor. Bisa ia lihat Harvey yang tertidur dengan tangan sebagai bantalan di atas meja.

Keanu tersenyum. “Capek, ya, ngerjain tugas sebanyak itu,” gumamnya pada diri sendiri. Keanu memeriksa hasil pekerjaan Harvey melalui link yang sudah dibagikan kepadanya. Tidak banyak salah, Harvey hanya salah beberapa dalam memasukan nominal angka saja. Selesai mengoreksi Keanu membuat salinan kedua tugas ekonomi Harvey untuk mencegah hal yang tidak diinginkan. Setelah menyelesaikan semuanya ia kembali membaca buku ekonomi milik Putra.

Keanu tidak pernah sama sekali belajar mengenai ekonomi. Ingatkan dirinya kalau dia adalah bagian dari jurusan IPA. Namun demi Harvey ia mau mempelajari segala materi ekonomi agar dapat membantunya dan pria yang disukainya tidak perlu repot bertanya kepada orang lain lagi. Cukup bertanya kepada dirinya dan ia akan siap membantu.

Tiga puluh menit berlalu dan Harvey masih sama dengan posisinya. Keanu hanya diam membiarkan Harvey istirahat dengan tenang walau hatinya terus berteriak untuk membangunkan Harvey untuk menyuruhnya tidur di tempat tidur saja. Ia takut leher dan punggung Harvey akan terasa sakit saat bangun dari tidurnya.

Hangat. Berada di dekapannya terasa hangat bagai dipeluk oleh sang ibu. Aroma yang menguar dari tubuh Keanu memberikannya kenyaman tersendiri. Harvey semakin mengeratkan pelukannya, menggerakan kepalanya ke kiri ke kanan layaknya seekor anak anjing. Keanu dengan senang hati menerima perilaku Harvey.

Tidak terasa mereka berpelukan hingga bel berbunyi menandakan istirahat telah selesai. Tubuh Harvey menegang untuk sesaat ketika mendengar suara yang sangat familiar. Kalau ia turun sekarang sama saja dengan mencari masalah. Jarak antara rooftop dan kelasnya lumayan memakan waktu dan para guru biasanya tidak pernah telat dalam menghampiri kelas jadwalnya mengajar. Ia akan dihukum jika telat masuk ke kelas.

Keanu menepuk pelan punggung Harvey untuk menenangkannya. “Kita bolos aja sampe istirahat kedua.”

“Nanti kalo ketauan gimana? Tas kita masih ada di kelas.” Tersirat rasa cemas dari ucapan Harvey.

“Nggak apa-apa. Tadi gua sempet ke UKS buat minta surat keterangan lu lagi gak enak badan. Udah gua kasih ke guru piket dan kantor guru juga jadi aman.”

“Lu gimana? Masa gua doang yang aman.”

“Sama. Gua juga izin sakit.”

Harvey semakin bingung. Bukannya tidak berterima kasih tapi bagaimana cara Keanu meyakinkan penjaga UKS serta para guru untuk percaya kalau mereka berdua sakit. Jelas-jelas mereka sekarang tidak ada di ruang UKS dan bisa saja penjaga tersebut melaporkannya ke guru. Lalu mereka dihukum atas tindakan membolos pelajaran.

“Gue kenal sama penjaga UKS dan dia emang nggak mau ambil pusing sama anak-anak yang dateng ke UKS. Kalo beneran sakit ya diurusin, kalo ada yang mau sekedar bolos pelajaran dan tidur pun dia masa bodo. Yang penting dia udah ngejalanin tugasnya.”

Penjelasan dari Keanu tidak cukup untuk meredakan kecemasannya. “Kalo guru meriksa gimana?”

Keanu mengacak rambut Harvey yang tertata rapi. “Guru nggak serajin itu buat ngecek. Asal ada surat keterangan mereka nggak akan banyak bertindak. Kalau pun nanti dihukum tenang aja. Dihukumnya bareng gua.”

Terdengar helaan napas lega dari Harvey. Ia berterima kasih karena murid dengan track record baik seperti Keanu mau melakukan hal yang dapat merugikan demi Harvey. Merasa pegal dengan posisi memeluk akhirnya ia lepas dekapannya dari Keanu. Pipi kanannya memerah karena terlalu lama terhimpit oleh dada bidang Keanu.

“Bayi.”

“Hmm?”

“Kaya bayi. Pipinya merah tapi sebelah doang.” Pipi kiri Harvey dicubit oleh Keanu. “Nah sekarang merah dua-duanya kaya Lightning Mcqueen.”

Haevey menatap sebal. “Udah nyubit sekarang ngatain kaya Lightning Mcqueen.” Yang ditatap hanya tertawa jahil sambil menangkup kedua pipi Harvey. “Soalnya setiap liat lu, hati gue bawaannya bunyi KACHOW! Eh— maksudnya hati semua orang langsung bunyi KACHOW!” Cepat-cepat ia koreksi kalimatnya tadi.

Jantungnya berdebar tak karuan saat frasanya tak sengaja lolos dari bibirnya. Harvey biasanya tidak terpengaruh oleh kata-kata gombalan dan menganggapnya sebagai lelucon untuk menarik perhatiannya tetapi kalau Keanu yang berucap selalu timbul sebuah perasaan yang tidak bisa ia jelaskan.

Nyaman. Itulah kata yang dapat menggambarkan keadaannya sekarang. Pelukannya tidak pernah gagal membuat dirinya larut dalam rasa nyaman dan aman yang dibagikannya. Mahen. Pria itu memeluk Harvey dalam diam dan tanpa banyak tanya. Dielusnya bahu yang banyak memikul bebannya sendirian. Mencoba membuatnya rileks.

Harveynya tidak pernah berubah, ia masih menggunakan parfum yang sama. Aroma sabun yang membuat siapa saja yang menciumnya akan langsung berpikir kalau ia adalah orang yang sangat menjaga kebersihan tubuhnya. Harveynya masih sama dengan anak yang ia temui sepuluh tahun yang lalu, bedanya kini ia tumbuh besar dan semakin menarik banyak orang untuk mengagumi keindahannya termasuk dirinya tapi ia memilih untuk bungkam mengenai hal tersebut.

“Hen.”

“Hmm?”

“Nggak pegel?”

“Nggak,” jawab Mahen masih sambil mengelus bahu Harvey.

Dijauhkannya diri Mahen dari pelukan. “Kenapa baik?” tanya Harvey. Mahen menggerakan kepalanya tidak mengerti. “Kenapa baik? Gue gimana mau move on kalo lu kaya gini?”

Mahen mengedipkan matanya sebelum kembali pada kesadarannya. “You like me?” tanyanya. “Sejak kapan. Gue. Gue nggak tau harus ngomong apa,” sambungnya. Ia sungguh tidak menyangka dengan perkataan yang didengarnya.

Isn’t it obvious?” Harvey membuang muka. “Ternyata selama ini lu emang nggak sadar, gue kira lu pura-pura nggak tau. Sorry udah berprasangka buruk.” Ia mendudukan kepalanya. Harvey merasa bodoh sekaligus bersalah sudah berpikir Mahen adalah orang jahat karena berpura-pura tidak sadar dengan perasaannya.

“Sejak kapan, Vey?”

“Nggak penting. Anggep aja nggak pernah denger.”

Mahen memegang kedua bahu Harvey. “Sejak kapan, Harvey Sastroardiya?” setiap suku katanya penuh penegasan yang membuat Harvey merinding. “Nggak penting. Gue udah mutusin untuk move on, jadi perasaan gue ke lu dipastikan udah nggak ada lagi, Mahen.”

It matters, Harvey. Your existence means everything to me. Termasuk perasaan lu ke gua.” ucap Mahen meyakinkan Harvey. “But sorry, I’m afraid I cannot return the same feelings to you.”

Harvey sudah menduga jawaban itu akan keluar dari mulut Mahen. Rasanya berkali-kali lebih sakit saat mendengarnya langsung.

“Gue laper.”

“Mau beli di luar?”

“Males.”

“Gue aja yang beli. Lu mau apa?” Mahen mengalah dan keluar untuk membeli makanan titipan Harvey. Sekaligus mencari udara segar setelah sebelumnya melewati suasana campur aduk. Memberikan dirinya dan Harvey waktu untuk menenangkan diri.

Air mata tanpa dipinta turun begitu saja membasahi pipinya. It’s a rough day for him and he making it worse by confessing his feelings. Ia dan mulutnya yang lupa filter adalah kesalahan terbesarnya malam ini. Andai saja ia tahan kalimat tersebut seperti hari-hari sebelumnya maka semua ini tidak akan terjadi.

Sebenarnya ia lebih ingin untuk tinggal di rumah. Bermalas-malasan sambil menonton film favoritnya atau bermain game bersama Nancy, tapi hati kecilnya tidak tega membiarkan ibunya sendirian di acara keluarga yang lebih mirip ajang menghina.

Keluarga dari pihak ibunya terlalu banyak omong mengenai kehidupannya. Belaga menerima orientasi seksualnya tapi tak bisa berhenti berbisik jahat di belakangnya. Sok menggurui perihal ibu harus memiliki sosok pendamping, sosok pendukung, seorang suami. Padahal suami yang mereka agung-agungkan itu peduli saja tidak dengan keberadaan istrinya.

Harvey sungguh benci dengan acara keluarga dan ia lebih benci lagi kalau ibunya harus menanggung semuanya sendirian.

Hari menjelang sore akhirnya ia dan ibunya pamit berpulang diri, lebih tepatnya membebaskan diri dari sekumpulan manusia pemilik dua topeng. Mereka pulang dijemput oleh supir ayahnya.

Dalam perjalanan pulang pikirannya tidak berhenti bekerja. Ia membayangkan seandainya ibu dan ayahnya menikah apakah keluarganya akan bersikap baik atau malah sebaliknya.

Hubungan ayah dan ibunya cukup rumit dan unik untuk dijelaskan. Sang ibu memilih untuk membesarkan anaknya tanpa terikat pernikahan dan sang ayah hanya menghormati keputusan ibunya. Harvey jarang menghabiskan waktu dengan ayahnya karena sibuk bekerja, tapi sosok pria tersebut akan selalu ada kapan pun anaknya membutuhkan kehadirannya.

Secara fisik dan emosinal Harvey lebih dekat dengan ibunya. Selain karena wanita itu yang melahirkannya, ibunya memberikan seluruh waktunya untuk sang anak. Sang ibu juga selalu melindungi anaknya agar tidak mengalami hal yang sama dengan dirinya.

Saat Harvey pertama kali memberitahu kalau ia tidak suka perempuan, ibunya memberikan pelukan terhangat dan mengatakan, “Pasti berat ya selama ini pendam semuanya sendiri. Nanti kalau ada apa-apa bilang sama Mami, ya?”

Sebuah tamparan diharapkan oleh Harvey tetapi yang ia terima adalah pelukan hangat dan kalimat penenang. Harvey sayang sekali dengan ibunya melebihi apapun.

Ia hormati keputusan ibunya untuk tidak menikah dan memutuskan untuk membesarkan anak sendiri tanpa terikat dalam sebuah pernikahan. Namun kadang tidak dapat dihindari tercetusnya pikiran tentang keadaannya jika ibunya dan ayahnya menikah. Menjadi keluarga yang utuh.

Terlalu banyak yang ia pikirkan sampai tidak sadar sudah sampai di rumahnya.

“Nak Harvey, saya liat dari kaca bengong aja dari tadi. Nggak baik loh. Nanti bola matanya keluar.”

“Nanti tinggal tuker tambah sama bola mata baru, Pak.”

Ibunya tertawa melihat interaksi anaknya dengan sang supir yang sudah seperti keluarga sendiri.

“Pak, makan malam bareng, yuk, nanti baru pulang.”

“Wah jadi enak nih.” Sang supir terkekeh. “Terima kasih, ya, Bu.”

Harvey tersenyum dan masuk ke dalam rumah duluan. Menyalakan lampu untuk menerangi rumahnya yang gelap. Lalu membantu sang ibu menyiapkan makan malam.

Bukan Mahen namanya kalau tidak melakukan apa yang dia mau seenak jidatnya. Usai berbicara dengan Rey, ia langsung izin pamit untuk menemui Harvey. Rey sendiri tidak ambil pusing dengan hal itu.

Mahen banyak bergumam dalam hati. Ia sedikit merasa kecewa ketika Harvey pergi begitu saja meninggalkan dirinya. Hal terakhir yang ia ingat adalah Harvey izin untuk ke toilet tapi tidak kunjung kembali. Mahen terlalu menghiraukan Harvey saat pria tersebut tidak kembali dalam kurun waktu sepuluh menit, mungkin saja toiletnya sedang ramai. Tiga puluh menit berlalu dirinya mulai dilanda gusar tapi sekali lagi ia tepis pikiran negatifnya, mungkin Harvey sedang mampir ke suatu tempat. Sejam berlalu barulah dirinya mulai panik dan mencoba menghubungi Harvey yang sayangnya tidak dibalas sama sekali.

Mahen mulai mencari Harvey dibantu dengan Rey. Mereka beristirahat sejenak setelah mengelilingi dua lantai. Tiba-tiba sebuah balasan pesan muncul di layar handphone Mahen. Harvey yang mengiriminya pesan. Mahen membalas pesannya dengan khawatir, takut terjadi sesuatu pada Harvey. Saat diberitahu tidak apa-apa ia menghembuskan napas lega dan jalan menuju tempat Harvey berada.

Sampai di tempat Mahen langsung mendudukan diri di samping seseorang yang sedari tadi menemani Harvey. Rasa canggung menghampiri ketiganya.

“Lo, kenapa gak bilang kalo mau ketemu dia,” tunjuk Mahen kepada orang di sebelahnya. Harvey hanya menatap acuh.

“Vey, kalo gue ada salah gue minta maaf. Jangan langsung tiba-tiba ngilang kaya tadi. Bilang mau ke toilet tapi nggak balik-balik.”

“Lo aja asik banget sama Rey sampe lupa ada gua. Yakin lo tetep bakalan denger omongan gua?”

“Ya, senggaknya lo ngomong sesuatu lah, lewat chat juga bisa tapi lo milih buat diem.”

Di antara Harvey dan Mahen tidak ada yang mau mengalah. Keanu menjadi salah tingkah ketika dua orang tersebut saling menaikan egonya. Mau melerai tapi takut malah memperkeruh suasana.

Makanan datang di waktu yang pas. Saat Harvey hendak membuka mulutnya seorang pelayan datang membawa pesanan dan menaruh makanan mereka di atas meja.

“Ini makanannya cuma dua, ya, Mas?” tanya pelayan tersebut memastikan.

“Iya, Mbak.”

“Baik, Mas. Ini mau saya adukin atau Masnya mau aduk sendiri?”

“Sendiri aja, Mbak.”

“Baik. Pesanan sudah lengkap, kalau ada tambahan bisa langsung ke kasir, ya, Mas. Terima kasih.” Pelayan tersebut meninggalkan meja setelah Harvey dan Keanu balas mengucapkan terima kasih.

Suasana tegang yang sempat terintruspi kembali lagi ke permukaan. Mahen dengan air wajah tegang dan Harvey dengan tatapannya yang tajam.

Melihat dua orang ini tidak akan menuruni egonya akhirnya Keanu mengambil gerakan. Ia sentuh lengan Harvey, “Makan dulu, Vey. Debatnya nanti lagi.”

We're not—” sanggah Mahen.

“Iya, nggak debat cuma saling berantem.” Ucapannya mengundang tatapan tajam dari dua insan yang berperang dingin. “Bener kan? Kalo mau berantem lanjut nanti, biarin Harvey makan dulu. Gue nggak tau lo ada masalah apa sama Harvey tapi bisa jangan ganggu dia dulu kan?” Keanu menyendokan makanan ke dalam mulutnya.

Mahen menatap tidak suka, “Gue lebih tua satu tahun kalo lo lupa dan lo nggak berhak menggurui gue soal Harvey. Dia tetep salah udah ninggalin gitu aja tanpa kabar .”

“Lo juga salah nyuekin Harvey gitu aja. Dia nggak akan pergi tanpa kabar kalo lo mau menghargai keberadaan dia,” jawab Keanu.

Harvey tersenyum dalam diam. Buru-buru ia melahap suapan baru ke dalam mulutnya agar tidak ada yang melihat kalau dirinya sedang tersenyum.

Di sisi lain Mahen kalah telak dengan ucapan Keanu. Ia diam beberapa saat dan membiarkan keheningan mengisi. Hanya ada suara denting sendok dan garpu.

Keheningannya berhenti ketika ia mengingat sesuatu. Ia rogoh kantung celananya dan mengambil sebuah cincin.

“Cincin lo. Cincin yang lo beli kembaran buat lo dan gue.” Cincin tersebut ditaruh di dekat Harvey. Pemiliknya hanya diam dan lanjut menikmati makanannya. Tidak mengindahkan ucapan Mahen.

“Pulang nanti sama gue kan?” tanya Mahen.

“Gak.”

“Naik grab? Papi lo emangnya ngebolehin?”

“Keanu. Gue pulang sama Keanu.”

Yang namanya disebut tersenyum penuh kemenangan. Mahen melirik Keanu sekilas dan kembali bertanya, “You don't know about him. Kenapa mau pulang sama Keanu?”

You know nothing about me either, Mahen. Stop ngomong tentang siapa paling kenal siapa ketika lo sendiri nggak kenal begitu dalam soal gua.” Harvey meletakan sendok dan garpunya di atas meja. “I'm done eating. Ken, ayo pulang.” Keanu mengangguk dan berdiri dari duduknya, mengekori Harvey yang meninggalkan Mahen dalam keterdiamannya.

Sedari tadi Harvey hanya duduk diam menjadi pendengar yang baik walaupun lawan bicaranya seolah lupa dengan presensinya. Lelah menjadi pendengar ia memutuskan untuk membuka sosial medianya dan mengunggah sebuah postan di media burung biru.

Unggahannya mengundang pertanyaan dan godaan dari beberapa orang termasuk Keanu. Pria itu bahkan menanyainya melalui pesan pribadi. Keanu memutuskan untuk datang dan menemani Harvey yang dilanda kebosanan sekaligus mengajaknya bermain Ice Skating.

Di sini mereka sekarang, Harvey yang berusaha menyeimbangkan tubuhnya di atas es yang ia pijak. Keanu mengulurkan lengannya untuk menjadi tumpuan bagi tangan Harvey. Kalau kalian bingung di mana orang yang seharusnya bersama Harvey, jawabannya Harvey sendiri pun tidak tahu berada di mana pria itu. Harvey hanya izin ke toilet dan langsung pergi menuju skating rink tanpa mengabari ulang Mahe dan tamu dadakannya.

“Keanu, liat gua bisa.” Harvey berhasil berselancar tanpa hambatan walau sempat terpleset sedikit di awal. Keanu bertepuk tangan dan mengacungkan kedua jempolnya. Mengapresiasi keberhasilan Harvey.

Keanu membawa kedua kakinya dengan mudah menuju Harvey. “Vey, I hate to say this tapi waktu kita tinggal lima belas menit lagi.” Harvey sedikit menekuk wajahnya. “Mau perpanjang waktunya? Gue beli lagi tiketnya,” tanya Keanu yang mengerti kekesalan Harvey hanya dengan melihat ekspresi wajahnya.

“Nggak usah, Ken. Lima belas menit cukup kok buat main. Abis ini udahan aja, kita main ke sini lagi nanti.”

Kalimat terakhir tersebut memberi sedikit harapan untuk Keanu. Itu tandanya Harvey mau main bersamanya lagi atau mungkin itu hanya kalimat pelengkap yang tercetus begitu saja.


Mereka keluar dari arena es ketika waktu menunjukan sesi bermain telah selesai. Lengan Keanu sekali lagi membantu Harvey agar tidak jatuh. Keduanya duduk di atas kursi untuk berganti ke sepatu mereka semula. Harvey tampak sedikit kesulitan untuk melepas sepatu sebelah kanan. Melihat hal itu Keanu langsung berinisiatif berlutut dan membantu untuk menarik sepatu tersebut. Butuh beberapa tarikan hingga akhirnya lepas dan tubuhnya kini tertimpa oleh Harvey.

“Eh, sorry, lu nariknya kuat banget gue jadi oleng.” Harvey segera berdiri dan mengulurkan tangan kepada Keanu tetapi pria tersebut malah semakin tidur telentang. Mengundang tatapan aneh dari beberapa pengunjung. “Ken, lu gak pingsan sambil buka mata kan?” ucap Harvey panik. Keanu malah tertawa sambil menutupi wajahnya dengan tangan yang kosong.

Kemudian bangkit dari posisi telentangnya. “Lo nggak apa-apa? Sakit gak tadi pas jatoh?” Harvey bingung malah Keanu yang mengkhawatirkannya padahal dia yang tidak sengaja menimpa Keanu.

“Gak. Nggak sakit,” jawab Harvey.

“Good.” Keanu mengelus pucuk kepala Harvey dan pergi menaruh sepatu yang mereka pinjam.

Dengan langkah mantap Keanu berjalan menuju kelas kembarannya. Sepanjang ia berjalan orang-orang terus menatap dirinya. Selain karena kostumnya yang cukup mencolok, tubuhnya yang tinggi, bahu bidangnya, ditambah dengan postur badan yang sesuai porsinya menjadikan ia terlihat bagai model yang sedang berjalan di runaway.

Samar-samar terdengar para murid yang mengagumi wajah Keanu yang sedang tidak ditutupi topengnya agar dapat bernapas dengan lebih leluasa.

Keanu akhirnya tiba di lantai khusus anak kelas 12. Tidak terlalu banyak dan tidak sedikit juga murid tahun ajaran terakhir yang berkumpul di kelasnya masing-masing. Keanu pergi menuju kelas Putra. Sosok yang dicarinya sedang duduk bercengkerama dengan siswa lain.

Putra yang melihat Keanu segera memberikan kode melalui kedipan mata untuk segera menghampirinya.

“Buru kasih. Dari tadi gue nahan dia biar gak ke mana-mana,” bisik Putra. “Thanks, bro.” Keanu menepuk pundak Putra dan berjalan menghampiri Harvey.

“KENNN!!!” Harvey berseru senang. Sang pemilik nama tersipu malu ketika namanya disebut dengan penuh semangat.

“Nih, treats khusus buat lu seorang.” Ucapan tersebut menimbulkan bisik-bisik di antara siswa yang hadir di ruangan itu. Sebagian ada yang iri karena hanya diberi dua buah permen oleh Harvey, sebagian lagi ada yang bergosip perihal interaksi keduanya.

Thank you, Vey.” Satu plastik kecil berisi manisan pemberian Harvey ia taruh di dalam sebuah kantong berisi permen.

“Buat gua mana?” tanya Harvey.

“Sini kantong punya lu.”

Harvey memicingkan matanya, “Mau nyolong, ya.”

Keanu tersenyum, “Nggak. Siniin dulu, gua mau kasih khusus juga buat lu tapi nggak boleh liat. Nanti di rumah tebak sendiri mana yang dari gua.” Beberapa snack dan notes ia masukan ke dalam kantong milik Harvey. Tidak lupa ia guncang-guncang kantong tersebut agar isinya teracak.

“Keanu!!! Berantakan dong.”

“Biarin.”

Harvey merajuk membuat Keanu merasa gemas. Ditarik pipi Harvey agar tersenyum. Namun jari telunjuknya digigit pelan oleh Harvey hingga ia mengaduh cukup kencang. Keduanya larut dalam canda tawa masing-masing. Tak sadar sedari tadi ada yang melihat dan mengawasi.

Harvey telah duduk di kursi sebelah Keanu. Lengkap dengan seatbelt yang melingkar di tubuhnya.

First stop kita mau ke mana?” tanya Harvey.

“Karena ini masih pagi, jadi kita makan yang lunayan berat dulu buat isi tenaga. Belum sarapan kan?”

Harvey menggelengkan kepalanya. “I can't wait to see the place!” ujarnya. Keanu tersenyum melihat respon yang diberikan Harvey. Tangannya yang lebih kecil sedikit dari tangan Keanu mengepal seperti Doraemon.


Harvey terpukau ketika melihat interior restoran yang sedang ia kunjungi. Banyak barang-barang antik dan di sudut ruangan terdapat turntable lengkap dengan koleksi vinyl di sebelahnya. Para pengunjung bebas memutar satu piringan hitam untuk mendengar lagu favorit mereka.

Usai menyebutkan pesanan mereka diberi satu tiket untuk memutar satu lagu yang mereka inginkan. Keanu mempersilahkan Harvey untuk memilih lagunya sementara ia duduk mengamati Harvey yang sedang berjalan menuju sudut ruangan itu.

Alunan ritme yang familiar menyapa gendang telinganya. Harvey memilih untuk memutar lagu Billie Jean milih Michael Jackson.

Harvey kembali menuju mejanya sambil berjalan ala Michael Jackson. Keanu tertawa melihat tingkah Harvey. Matanya menghilang ketika sudut bibirnya terangkat. Harvey juga ikut tersenyum kemudian menyerukan suara Hee-hee ciri khas idolanya.

“Suka Michael Jackson?” tanya Keanu.

I’m a BIG FAN OF HIM.” Terdapat penekanan kata pada empat suku kata terakhirnya. “Kalau aja dia masih hidup, gua mau banget nonton konsernya.”

“Nonton konser gue aja,” gurau Keanu.

Alis sebelah kiri Harvey terangkat. “Bisa nyanyi?” tanyanya penuh selidik. “Nggak. Tapi gue bisa lipsing.”

“Dasar.” Harvey sudah berharap Keanu akan bernyanyi untuknya tapi pria itu hanya bergurau belaka.

Makanan akhirnya tiba. Keanu memesan hidangan berjudul Erwtensoep. Sup khas negara Belanda. Jantungnya berdebar ketika menunggu respon Harvey atas makanan yang dipesannya. Takut tidak sesuai dengan selera orang yang disukainya.

Mata Harvey berbinar setelah terbiasa dengan rasanya. Hidangan berbasis kacang tersebut terasa lezat di lidahnya.

“Enak banget!!! I never tried this before.” Harvey kembali menyendok sup tersebut ke mulutnya. Diam-diam ada yang bersorak senang saat usaha pertamanya berhasil dengan sukses.

Tepat sebelum sup tersebut habis datang lagi hidangan baru. Kroket berukuran sedang sebagai penutup makanan hari ini. Baik Harvey maupun Keanu langsung menyantap kroket tersebut sampai habis.

“Enak banget makanannya. Next time gue bakal ke sini lagi. Thanks Ken udah bawa gue ke sini.”

“Sama-sama. Selanjutnya kita ke toko es krim mau?”

Hell YES!!!” Harvey sangat suka dengan es krim. Akan selalu ada ruang untuk makanan satu itu.


“Galak banget yang jual,” gerutu Harvey sambil menyuap satu sendok es krim ke dalam mulutnya.

Baru kali ini ada penjual makanan tidak ramah tapi tempatnya selalu ramai dengan pengunjung. Rasanya memang lumayan tapi tidak dengan caranya memperlakukan pembeli.

“Emang kaya gitu orangnya. Untung rasanya lumayan.”

“Tapi lucu sih jadi mirip restoran luar. Restoran ala Karen gitu. Pembelinya dijudesin, dikatain, julidin sama waitressnya.”

“Pembelinya gak marah?”

“Nggak. Kan emang konsepnya kaya gitu. Para customer harus udah paham kalo nggak pasti berantem.”

“Bener juga—” fokus Keanu terpecah kepada sisa es krim yang menempel pada sudut mulut Harvey. Merasa diperhatikan akhirnya Harvey bertanya dengan ekspresi wajahnya. “You got some left over, here, let me help you.” Ibu jari Keanu menyapu bersih sisa es krim tersebut.

“Sebentar, gua bawa tisu basah, lap pake itu aja.” Harvey terlambat karena Keanu sudah menjilat ibu jarinya duluan. “Jorok, ih, itukan dari mulut gua.”

Keanu tertawa kecil. “Still taste sweet. Hence, I'm still fine by it.

Wajah Harvey menghangat. Untung saja kaca mobil memang sedang dibuka jadi ia bisa beralasan jika ditanya mengapa wajahnya menghangat dan memerah. Ia tinggal menjawab karena cuaca yang panas.

Ia berdeham dan membenarkan posisi duduknya. Berusaha menetralisir rasa berdebar. “Kita abis ini makan apa lagi?”

“Masih muat perutnya?” goda Keanu.

“Masih. Ayo ke tempat selanjutnya.”

Roger, your highness.”