98.
Nyaman. Itulah kata yang dapat menggambarkan keadaannya sekarang. Pelukannya tidak pernah gagal membuat dirinya larut dalam rasa nyaman dan aman yang dibagikannya. Mahen. Pria itu memeluk Harvey dalam diam dan tanpa banyak tanya. Dielusnya bahu yang banyak memikul bebannya sendirian. Mencoba membuatnya rileks.
Harveynya tidak pernah berubah, ia masih menggunakan parfum yang sama. Aroma sabun yang membuat siapa saja yang menciumnya akan langsung berpikir kalau ia adalah orang yang sangat menjaga kebersihan tubuhnya. Harveynya masih sama dengan anak yang ia temui sepuluh tahun yang lalu, bedanya kini ia tumbuh besar dan semakin menarik banyak orang untuk mengagumi keindahannya termasuk dirinya tapi ia memilih untuk bungkam mengenai hal tersebut.
“Hen.”
“Hmm?”
“Nggak pegel?”
“Nggak,” jawab Mahen masih sambil mengelus bahu Harvey.
Dijauhkannya diri Mahen dari pelukan. “Kenapa baik?” tanya Harvey. Mahen menggerakan kepalanya tidak mengerti. “Kenapa baik? Gue gimana mau move on kalo lu kaya gini?”
Mahen mengedipkan matanya sebelum kembali pada kesadarannya. “You like me?” tanyanya. “Sejak kapan. Gue. Gue nggak tau harus ngomong apa,” sambungnya. Ia sungguh tidak menyangka dengan perkataan yang didengarnya.
“Isn’t it obvious?” Harvey membuang muka. “Ternyata selama ini lu emang nggak sadar, gue kira lu pura-pura nggak tau. Sorry udah berprasangka buruk.” Ia mendudukan kepalanya. Harvey merasa bodoh sekaligus bersalah sudah berpikir Mahen adalah orang jahat karena berpura-pura tidak sadar dengan perasaannya.
“Sejak kapan, Vey?”
“Nggak penting. Anggep aja nggak pernah denger.”
Mahen memegang kedua bahu Harvey. “Sejak kapan, Harvey Sastroardiya?” setiap suku katanya penuh penegasan yang membuat Harvey merinding. “Nggak penting. Gue udah mutusin untuk move on, jadi perasaan gue ke lu dipastikan udah nggak ada lagi, Mahen.”
“It matters, Harvey. Your existence means everything to me. Termasuk perasaan lu ke gua.” ucap Mahen meyakinkan Harvey. “But sorry, I’m afraid I cannot return the same feelings to you.”
Harvey sudah menduga jawaban itu akan keluar dari mulut Mahen. Rasanya berkali-kali lebih sakit saat mendengarnya langsung.
“Gue laper.”
“Mau beli di luar?”
“Males.”
“Gue aja yang beli. Lu mau apa?” Mahen mengalah dan keluar untuk membeli makanan titipan Harvey. Sekaligus mencari udara segar setelah sebelumnya melewati suasana campur aduk. Memberikan dirinya dan Harvey waktu untuk menenangkan diri.
Air mata tanpa dipinta turun begitu saja membasahi pipinya. It’s a rough day for him and he making it worse by confessing his feelings. Ia dan mulutnya yang lupa filter adalah kesalahan terbesarnya malam ini. Andai saja ia tahan kalimat tersebut seperti hari-hari sebelumnya maka semua ini tidak akan terjadi.