bonjparoles

Harvey dan Nancy sedang sikut menyikut saat Mahen datang menghampiri mereka berdua. Harvey langsung menghentikan aktivitasnya dan matanya terfokus pada pria di depannya. Seseorang yang sudah ia sukai sejak lama tampil mengagumkan malam ini. Setelan jas berwarna maroon membalut tubuhnya dengan apik. Bahu bidang milik Mahen menjadi pusat perhatian dari indra penglihatannya. Harvey membayangkan kepalanya yang disandarkan kepada bahu kokoh itu.

Mahen melambaikan tangannya di depan wajah Harvey. “You okay? Nance, si Harvey kenapa kok diem aja?”

“Gak apa-apa. Laper kali dia. Udah yuk masuk aja.” Nancy menggandeng tangan Harvey menuju meja yang sudah direservasi untuk mereka. “Lo kalo kagum sama Mahen jangan kaya orang kesurupan Vecna dong,” bisik Nancy.

“Ganteng banget, Nance, asli dah. Gue udah lama ga ketemu Mahen. Dia jadi makin cakep banget,” balas Harvey yang direspon dengan tatapan malas dari Nancy.

“Papa sebentar lagi dateng. Bareng papa kalian juga.” Suara Mahen menginterupsi keduanya yang membuat Harvey kembali mematung. Nancy hanya menggeleng kecil ketika melihat sahabatnya kembali menjadi sebuah batu sungai besar yang sulit digerakan.

How's life?” tanya Mahen.

Harvey dengan senyum lebarnya menjawab, “Great.” Life is great when you are around. Namun kalimat tersebut tidak berani ia ucapkan karena takut tidak mendapat respon yang ia inginkan. Terlebih karena itu adalah Mahen.


Harvey menatap keluar jendela. Melihat jalanan beserta lampu-lampu temaram yang membantu para pengendara beserta pejalan kaki untuk melihat. Mahen melirik sekilas kemudian fokus mengendarai lagi. Ia mengantar Harvey pulang melewati rute jalan yang sudah ia hafal di luar kepala.

Semenjak selesai makan dan pergi meninggalkan restoran tidak ada sepatah kata pun di antara mereka. Seakan ada gembok yang mengunci rapat mulut mereka dan kuncinya tidak dapat dibuka sebab telah dilempar sembarang arah. Keduanya sedikit merasa canggung pun nyaman dengan kecanggungan di antaranya.

Harvey sebenarnya ingin sekali mengobrol dan mendengar cerita tentang kehidupan perkuliahan Mahen tetapi ia enggan untuk memulai percakapan. Takut dirinya akan mengganggu Mahen.

Perjalanan mereka masih selama lima belas menit lagi. Mungkin akan lebih cepat karena jalanan begitu lengang di malam hari. Lampu merah di hadapan mereka tidak menjadi penghambat di penghujung hari. Karena bosan menunggu dalam hening akhirnya Mahen berinisiatif untuk memutar lagu dari playlist spotify **miliknya. Lagu Little Things milik One Direction terputar menemani keheningan mereka.

Harvey masih setia menatap jalanan melalui jendela di sampingnya tetapi telingannya menangkap samar-samar lirik yang disenandungkan oleh pria di sampingnya.

I won't let these little things Slip out of my mouth But if I do It's you Oh it's you They add up to I'm in love with you And all these little things

Harvey berharap barisan lirik tersebut ditujukan kepadanya. Walau kecil peluangnya ia masih mau berharap kalau Mahen sedikit menyimpan rasa kepadanya.

Thank you, Mahen. See you next time. Safe drive.” Harvey turun dari mobil Mahen secepat kilat tanpa mendengar kalimat balasan dari pria yang mengantarkannya pulang.

CW // Mpreg

Di sinilah mereka sekarang. Kembali ke Paris. Seharusnya Narendra berkunjung pada musim panas untuk menemui kakeknya seperti yang biasa ia lakukan. Namun kali ini bukan itu tujuan utamanya. Ada hal lain yang ingin ia lakukan berdua dengan Elle. Mereka tidak akan berlama-lama di Paris.

Elle membongkar kopernya dan mengambil sepasang baju ganti, ia pergi ke kamar mandi untuk membasuh diri setelah melewati perjalanan yang panjang. Narendra diam memperhatikan gerak-gerik kekasihnya. Ia sedang berusaha mengontrol gemuruh di dadanya.

Bosan menunggu Elle mandi Narendra kembali mengecek barang bawaan di kopernya. Ia hampir saja berteriak frustrasi ketika tidak kunjung menemukan benda kecil yang akan melingkar manis di tangan kekasihnya. Benda itu ia taruh di dalam pouch berisi snack sehingga tidak terlihat olehnya.

Tepat ketika Narendra hendak membuka kotak benda tersebut terdengar suara pintu kamar mandi terbuka. Elle sudah selesai membasuh diri. Tangannya sedang sibuk mengeringkan rambutnya.

“Na, ngapain jongkok begitu kaya orang mau maling?”

Narendra tertawa cemas, “Nggak apa-apa. Bosen aja tadi makanya aku jongkok.” Elle menggelengkan kepalanya. Sudah tidak asing dengan tingkah unik Narendra.

“Aku mandi dulu ya abis kita cari makan di luar.” Narendra berucap kemudian melangkahkan kakinya dan membasuh diri.


Selesai makan siang yang tidak bisa disebut makan siang karena waktu sudah menunjukan pukul tiga sore, keduanya berjalan-jalan di sekitar menara Eiffel.

Elle menggenggam tangan Narendra dan bersenandung riang. Berbeda dengan pria satunya yang tengah menahan kerikil di tenggorokannya. Detak jantungnya juga tidak kunjung tenang. Hingga mereka tiba di tempat yang tidak terlalu jauh dengan menara Eiffel dan lebih sedikit sepi pengunjung.

Narendra melepas genggaman tangan dan berbalik badan menghadap kekasihnya, “Elle, aku mau ngomong serius.” Elle menatap pria di depannya dengan sorot mata yang teduh.

Narendra mengeluarkan sebuah kotak yang ia simpan di saku blazer, menekuk satu kakinya dan berlutut sambil membuka kotak tersebut.

Do you want to spend the rest of your life with the man who has flaws and bring the best version of him?

Elle is speechless. His soul almost left his body. Ia tidak percaya dengan kenyataan di depannya.

Orang-orang yang berlalu-lalang menghentikan langkahnya untuk melihat momen mengharukan dari pria yang sedang melamar kekasihnya. Mereka bersorak bahagia ketika Elle menganggukan kepalanya dan memeluk Narendra. Cincin tersebut dipasangkan kepada jari manis Elle.

Di sore pukul tiga lebih dua belas menit, Narendra dan Elle berciuman sebagai penutup momen bahagia mereka. Dilengkapi dengan tepuk tangan yang meriah dari orang sekitar.

Narendra dan Elle berjalan-jalan sebentar untuk membeli baguette. Kemudian mereka kembali lagi ke hotel untuk beristirahat. Keduanya merebahkan badan di atas kasur sambil berpelukan. Euforianya masih belum padam dan tidak ada dari mereka yang ingin memadamkan euforia tersebut.

Ketika sedang menggambar pola acak di telapak tangan Narendra tiba-tiba Elle teringat sesuatu dan bangkit menuju kopernya diletakan. Mengambil satu kotak berukuran sedang dan menyerahkannya kepada Narendra untuk dibuka.

Ketika tutupnya dibuka Narendra langsung mengalihkan pandangannya kepada Elle menatap tidak percaya. Elle tersenyum manis. “Congratulations, you're going to be a father.”

Narendra meletakan kotak berisi test pack bergaris dua di atas meja dan memeluk Elle. Ia bawa pria yang tengah mengandung anak mereka ke atas pangkuannya.

“Kapan? Maksud aku berapa bulan? Kamu belom cek dokter kan? Nanti cek sama aku ya.”

Elle tersenyum tipis. “Iya, sayang.”

Narendra membawanya ke dalam sebuah ciuman yang dalam. Menyalurkan rasa cintanya sekaligus terima kasih karena telah menghadirkan satu nyawa di kehidupan mereka. Ia lumat bibir atas dan bawa Elle bergantian. Dikecup pelan bibir Elle dan membiarkan kekasihnya bernapas.

Thank you, Elle. Kayanya kata makasih nggak cukup buat ngewakilin hal yang mau aku ungkapin. I promise I'm going to take care both of you. Kalo nanti aku ada ngelakuin salah tolong diomelin aja ya. Jangan kamu tahan. Aku nggak mau kamu nanti stress sendirian. Pokoknya sebisa mungkin selalu bagi sama aku, apa yang kamu lagi rasain.” Narendra mengelus pipi Elle dengan lembut.

“Iya, Na. I’m counting on you!”

Narendra dan Elle kembali membawa tubuh mereka untuk tidur di atas tempat tidur. Dengan posisi Narendra yang menyamping dan memeluk Elle sambil mengusap perutnya yang masih rata itu. Matanya ia pejamkan. Sambil membayangkan calon anaknya.

“Si dedek kayanya umurnya satu bulan. Kita terakhir kali make love pas yang kamu galau sebulan yang lalu gara-gara lagu glimpse of us.” Ucap Elle yang membuat Narendra membuka matanya.

“Malu banget ih kalo diinget. Ngapain aku begitu ya. Itu kayanya bukan Narendra deh. Tapi nggak apa-apa, aku jadinya punya anak.”

Elle menjitak jidat pria yang sedang memeluknya dengan erat. “Kasian anak aku punya ayah random banget kelakuannya.”

“Anak aku juga tau!”

“Ga.”

“Anak kita!!!”

“GAAAA.”

Begitu seterusnya. Pertengkaran kecil yang tidak ada habisnya akan selalu menyelimuti Narendra dan Elle.

Elle was in the edge of crying if his phone doesn't ring, showing someone's name. The one he's been waiting.

Elle mengangkat panggilan tersebut.

“Halo.”

“Elle?”

Elle masih terdiam. Tidak percaya dengan suara yang ia dengar.

“Elle. I’m sorry for not contacting you earlier. Gue baru sadar kuota sama pulsa gue abis. Gue udah ngirim pesan berkali-kali tapi nggak kekirim. Kirain jaringannya lagi jelek. Baru tadi nyoba nelpon dan dapet pemberitahuan pulsa gua ga mencukupi.”

“Bego.”

“Narendra begonya kebangetan.”

Elle berkata dengan emosi. “Gue nungguin. Sampe mikir kalo lo ghosting gua lagi kaya waktu dulu.”

Sorry, Gabrielle.”

“Bego.”

“Iya, Narendra bego udah bikin khawatir. Maaf ya? Sabtu nanti mau meet up? I want to apologize to you properly.”

Elle memilin ujung bajunya. Tampak bimbang. “Awas kalo bohong.”

Narendra mengangkat dua jarinya walau pun tidak bisa dilihat lawan bicaranya, “I swear. Janji ga bohong.”

Elle tertawa mendengar nada bicara Narendra. Dua anak adam itu terus mengobrol sampai salah satunya menyudahi panggilan karena besok harus masuk kerja.

Kali ini Narendra menepati janjinya. Ia mengabari Ellenya. Menghapus rasa takut pujaan hatinya akan ditinggalkan begitu saja. This time Narendra will try to make it up to Elle. He promise himself not to repeat the same mistake.

At Charles de Gaulle Airport

Semua sudah siap dengan koper masing-masing. Bersiap untuk pulang ke tanah air. Seperti biasa mereka saling bercengkerama sebelum nanti berpisah.

Elle duduk di salah satu bangku sambil menunggu kedatangan pesawatnya. Di antara yang lain ia paling banyak diam. Tampak memikirkan sesuatu yang membuat air mukanya terlihat menekuk. Narendra menyadari ada yang berbeda dari Elle dan ia segera duduk di sampingnya.

“Hey, kenapa diem aja dari tadi?” Narendra mengelus tangan Elle. Memberikan rasa tenang kepada pria itu.

“Na, text me once you landed, will you?” Elle takut hal yang sama terulang lagi. Narendra yang tidak membalas pesannya dan ia yang terjebak dengan perasaannya sendiri selama dua tahun.

Dengan tatapan lembutnya Narendra berkata, “I promise I will contact you, Elle.” Dikecupnya dengan lembut kening Elle. “Aku telepon nanti. Sekalian pap muka aku ke kamu.” Narendra berusaha meyakinkan Elle.

“Aku tunggu,” jawab Elle.

Pesawat yang akan Elle, Rendra, dan Evan tumpangi tiba tepat waktu. Semua saling berbagi pelukan sebelum menaiki pesawat.

Elle dan Narendra berbagi pelukan terakhir di Paris dengan erat. “See you later, Elle.”

See you later, Na.”

Narendra, Nolan, dan Dirga kembali duduk di bangku mereka. Menunggu kedatangan pesawat masing-masing. Mereka semua pulang di hari yang sama dengan jam yang berbeda.

Are you sure about this, Elle?” tanya Narendra.

Dirinya tidak tenang saat mengetahui maksud dari pesan Elle semalam. Bagaimana ia bisa tenang kalau Elle dengan sukarela mau bertemu dengan Nate. Mantan pacarnya yang gila. Tapi Elle berkali-kali meyakinkan dirinya untuk percaya kepada pria itu. Kalau sudah diminta seperti itu apa boleh buat. Narendra hanya bisa menurut dan menjaganya.

“Iya, Na. Aku ke meja dia ya. Kamu tunggu di meja itu bareng yang lain,” Elle menunjuk sebuah meja yang letaknya tak jauh dari meja Nate.

Narendra menghembuskan napasnya dan meletakan telapak tangannya pada pipi kanan Elle. “Be safe, okay? Kalo dia mulai macem-macem langsung teriak aja.”

Elle terkekeh pelan. “Don’t worry. Aku jago berantem kok.”

Narendra memeluk Elle dengan erat kemudian melepaskannya. Ia berjalan ke meja yang berisikan Rendra, Nolan, Dirga, dan Evan. Elle berjalan ke arah sebaliknya. Ia menuju meja Nate yang sudah memperhatikannya dari awal ia datang.

“Lo mau pesen apa?” tanya Nate. Elle menggeleng sebagai jawaban, “Gua tadi udah makan. Lo aja yang mesen.” Nate mengangkat bahunya dan segera memanggil pelayan untuk memesan makanan.

Nate masih sama seperti dulu. Ia selalu ramah kepada pramusaji. Menurut orang-orang hal tersebut adalah bare minimum. Hal kecil yang memang sudah seharusnya dilakukan. Tapi di zaman ini masih banyak yang belum bisa menerapkan hal tersebut dan menganggap seorang pelayan adalah orang yang kastanya lebih rendah.

Elle menjadi sedikit mengenang masa lalu di mana seorang pelayan tidak sengaja menumpahkan air ke baju Nate tetapi ia tidak marah dan mengatakan agar tidak usah panik. Pelayan itu hampir dipecat kalau saja Nate tidak meyakinkan manager restoran tersebut.

Elle menggelengkan kepalanya untuk mengusir pikirannya tentang Nate. Pria itu memang baik dan mempunyai good manners. Sayang hal tersebut seakan menghilang saat berbicara dengan Elle melalui chat.

Nate menaikan alisnya sebelah saat melihat Elle yang menggelengkan kepalanya. “You okay? Lo beneran udah makan? Kalo belom makan jangan bohong. Nanti kepala lo pusing karena telat makan.” Tersirat sebuah nada khawatir pada ucapan Nate.

“Gue udah makan.”

“Oh. Okay.”

Let me get this straight to point. Kenapa lo mau balikan lagi sama gue? Dan dari sekian banyak cara lo malah milih cara yang menurut gue cukup jahat sekaligus creepy. Lo sendiri pernah bilang nggak suka stalker tapi apa yang lo lakuin ke gue sekarang nggak ada bedanya.” Elle menggebu-gebu dengan kalimatnya. Emosi yang terpendam seakan terlampiaskan begitu saja.

Sorry. Gue tau cara gue salah. Tapi gue harus ngelakuin cara apa lagi biar lo mau balik ke pelukan gue?”

Nothing. Nothing, Nate. Nothing.”

I don't get it,” Nate bingung dengan kalimat ambigu tersebut.

Nothing. Karena gue nggak akan pernah mau balik lagi ke pelukan lo. After everything you did to me? Hell no. I suffered enough and I don't wanna repeat the same pattern.”

But why?”

You literally being a complete jerk. Emangnya ga sadar? You left me at the day where we supposed to be in Paris and having some great time together.”

C’mon, Elle, seriously? Kan gue udah bilang kalo gue bosen—” ucapan Nate terputus saat melihat tatapan mata Elle. Ia berdeham kemudian melanjutkan, “Gue bosen dan pas gue sadar kalo gue salah ninggalin lu gitu aja, gue ga berani buat ngehubungin atau nemuin lu. You looked happy and I don't wanna ruin your happiness.

“Kemudian gue nyoba cari sosok orang yang baru buat ngusir kebosenan gue tapi mereka semua nggak ada yang sama kaya lu. Makanya gue berniat ngajak balikan lagi.”

Elle cukup bingung dengan Nate. Ia baru sadar pola pikir Nate aneh dan akalnya tidak bisa mencerna kalimat Nate.

“Sekarang emangnya lo ga liat gue juga tetep bahagia? I’m happy with Narendra. Lo bilang nggak mau ngerusak kebahagiaan gua tapi apa yang lo lakuin sekarang adalah kebalikannya. Can't you see it yourself?”

Nate terdiam. Ia mencoba mengingat kembali hal yang telah ia perbuat kepada Elle. Apa yang ia lakukan sekarang adalah terobsesi. Ia lupa dengan kenyamanan dan kebahagiaan Elle dan hanya terpaku untuk memiliki Elle lagi.

“Elle, I, I’m sorry.” Nate menggenggam tangan Elle. “Sorry. I'm really sorry. I just realized what I just did to you.”

Narendra melihat semua yang dilakukan Nate kepada Elle. Ia hampir saja bangun dari duduknya kalau Elle tidak menarik tangannya dari genggaman Nate.

If you want to be forgiven. Jangan ganggu gue lagi maupun Narendra dan temen-temen gue yang lain. Gue menghargai semua memori tentang kita berdua di masa lalu. Apa yang udah terjadi biar jadi cerita di masa muda kita. Sekarang, fokus sama masa depan masing-masing. I hope you will find someone who can love you more than I do, Nate.”

Ucapan Elle membawa ketenangan pada hati Nate. Kilasan kenangan tentangnya dengan Elle membuat hatinya melemah. Bagaimana bisa ia menyakiti Elle dengan keegoisannya. Ia sudah memikirkan tentang masa depannya dengan Elle dan bagaimana bentuk anak mereka nanti. Namun semua itu rusak oleh egonya.

Elle adalah satu-satunya yang bisa membuat dirinya berhenti bermain hati dengan banyak orang. Perannya secara tidak langsung membawa perubahan baik kepada diri Nate.

“Nate, Nate, Nate,” panggil Elle.

“Elle. Gue nggak tau harus gimana lagi. Gue baru sadar seberapa penting peran lu di kehidupan gue. Kalau aja bisa balik ke masa lalu, bakal gua marahin diri gua yang dulu. Sayangnya kita nggak bisa balik ke masa lalu kan?”

I still love you, Elle. But I'm letting you go. You deserve someone like Narendra. Not me.”

Seakan bisa membaca keadaan pelayan tersebut datang dan membawa pesanan Nate. Kemudian ia pergi lagi untuk mengambil pesanan lain.

Don’t say that, Nate. Your past deserve me and my past deserve you. What happen after that anggep ga pernah terjadi.”

Nate tersenyum tipis. Elle tetaplah Elle. “Alright, Elle, gue anggap permintaan maaf tadi udah diterima.”

Apology accepted. We good now?”

Yes.”

Elle bersiap untuk berdiri. “Gue balik duluan ya. Enjoy your meals.” Belum sempat melangkah tangannya kembali ditahan oleh Nate.

Jujur saja Nate masih belum rela Elle pergi secepat ini tapi ketika matanya bertemu dengan sorot mata sedih Elle pelan-pelan ia lepaskan cengkeramannya.

“Hati-hati,” ucap Nate.

Elle tersenyum. “See you again, Nate.”

See you again, Elle.” Nate berucap dengan pelan ketika Elle sudah berada di meja Narendra dan kawan-kawannya.

Nate menghabiskan makanannya dalam diam. Matanya meneteskan air mata ketika melihat Elle dan Narendra keluar dari restoran dengan selipan tawa bahagia. Cepat-cepat ia hapus air matanya dan lanjut menghabiskan makanannya. Ia ingin cepat beristirahat di hotel sebelum kembali ke Indonesia.

Selesai sudah hubungannya dengan Elle. The hardest part of loving someone is letting them go. Sekeras apapun berusaha memperbaiki, sesuatu yang sudah rusak tidak akan kembali baru. Begitu juga dengan hubungan Nate dan Elle. Kalau dipaksa maka mereka berdua yang akan merasakan sakit. That’s why letting go of each other is the best decision they made.

CW // Make out, Kissing

Ketukan terdengar pada daun pintu kamar hotel Elle. Tidak perlu ditanya lagi ia tahu siapa yang mengetuk. Dengan segera ia membuka pintunya dan mempersilahkan tamunya masuk. Elle kembali duduk di atas kasurnya dan Narendra duduk di atas kursi samping kasur Elle.

Elle tampak murung dan sedih. Wajah yang sama dengan dua tahun yang lalu. Matanya juga sedikit sembab. Menandakan Elle habis menangis. Hati Narendra seperti dicubit melihat orang yang ia sayangi bersedih seperti itu. Kalimat dari Nate tiba-tiba melayang di pikiran Narendra.

“Gabrielle.” Panggil Narendra dengan lembut. “Elle.”

Elle mengangkat wajahnya menatap Narendra. “Elle, nggak apa-apa kalo masih sayang sama Nate. Nggak apa-apa kalo lu mau balik ke Nate lagi.”

Elle yang mendengar kalimat Narendra barusan tiba-tiba saja menangis. Narendra tentu saja bingung. Apakah ia ada salah ucap atau tidak atau jangan-jangan Elle memang masih menyimpan rasa kepada Nate. Oleh karena itu ia menangis kencang seperti sekarang.

Tangisan Elle terus berlanjut ditambah dengan senggukan khas orang menangis. Narendra berdiri dari duduknya dan berlutut di depan Elle, “Hey, it’s okay to cry. I know you still love him too—”

I love you, Narendra. Ain’t that the worst thing you ever heard?” Elle berucap dengan napas yang tersenggal-senggal. “My thoughts is full of you. Full of all the things we did together in Paris two years ago. It was short, but it gave a very meaningful moment for me.” Elle menarik napas panjang.

Elle menangkupkan kedua tangannya di wajah Narendra. “Gua kaya orang bego mikirin lu terus selama dua tahun. Ga berani chat lagi karena dua kali ngechat dua kali juga cuma lu read and it turns out to be a miscommunication. Gua kira gua bego udah nyimpen rasa sama lu or maybe I am dumb?”

Narendra bangun dari sesi berlututnya dan memeluk Elle. “No. It’s me the one who is dumb.” Narendra memberi sedikit jarak dan menaruh kedua telapak tangannya di wajah Elle. “Gue nggak mau lu balikan sama Nate lagi. After everything he did to you. Ga. Gue ga rela dan nggak akan pernah ikhlas. But it was never my place to avoid you from getting back with him. Makanya gue pura-pura buat nggak apa-apa.”

Bukannya berhenti menangis Elle malah semakin sesenggukan. Berusaha menghirup udara dengan napas tersenggalnya. Narendra dengan sel-sel otaknya yang seketika berhenti berfungsi tidak bisa berfikir hal lain selain melumat bibir Elle.

Ia mendorong tubuh Elle hingga terlentang di tempat tidur dan kembali melumat bibir semerah buah ceri. Elle mendorong bahu Narendra meminta jeda sejenak sebelum kembali membalas ciuman Narendra. Rasa kopi americano sangat ketara dan Elle menyukainya.

Narendra menggigit bibir bawah Elle lalu menyudahi sesi make out mereka. Ia mengelus pipi kanan Elle dengan ibu jarinya. “I’m sorry for making you cry but I am more sorry for making you cry this way.” Narendra kembali mencium bibir ranum Elle. Hanya sebuah ciuman singkat. Kemudian pindah ke pipi kemerahan Elle, hidung bulatnya, mata indahnya, dan terakhir di dahi.


Kedua anak adam tersebut sedang berdiam diri dengan Elle yang menaruh beban kepalanya di atas bahu Narendra. Tangannya ia gerakan membentuk pola abstrak pada dada bidang pria itu.

You know,” ucap Elle.

“Hmm?”

It’s a cruel summer for me, Na.”

Imagine getting your heart broke two times with two boys in the meanest time. Gue sampe mikir kalo semua hal yang terjadi di paris bareng lu tuh cuma hasil daydreaming doang.”

Narendra sedikit tersentak dengan kalimat terakhir Elle, “I—Aku minta maaf udah bertindak kaya gitu. Kalau disuruh minta maaf sambil berlutut, aku bakal lakuin sekarang juga. Aku nggak keberatan untuk berlutut lagi if it’s about you.”

There's no need for that. Cukup kaya gini aja sekarang udah bikin gua tau gimana perasaan lu.”

“Gabrielle.”

“Hmm?”

Your words earlier, ‘I love you’ is not the worst thing I ever heard, it's the opposite. It is the best thing I've ever heard.” Narendra mengarahkan dagu Elle untuk menatap dirinya. “Tapi gue ga mau secepet itu buat menetapkan status di antara kita. I want us to learn each other more deeply and then we can decide whether we will be together or not.”

Me too. Gue juga nggak mau terlalu cepet. What happen to me and nate has taught me something,” balas Elle.

Serious question, do you want to be with him again or not?”

Elle bangun dan menegakan tubuhnya. Ia menunjukan raut kecewanya kepada Narendra. “Kata-kata gue pas nangis tadi kurang jelas, ya?”

Dengan cepat Narendra menangkup wajah Elle hingga kedua matanya tidak terlihat. “Eh, yaampun, bercanda gab.” Sebenarnya ia tidak bercanda dengan pertanyaanya. Namun biarkan ia pendam pertanyaan tersebut menjadi candaan.

Elle melepaskan kedua tangan Narendra dari kedua wajahnya. “Bercandanya jelek. Narendra jelek!” Elle memukul pelan lengan Narendra sementara yang dipukuli hanya tertawa lepas.

Narendra dan Elle menyantap steak mereka dalam diam. Nate pun sama. Pria itu menyantap makanannya dan tidak melepaskan pandangannya sekalin pun dari meja di sebelahnya.

Nate selesai makan duluan sementara Elle masih sibuk mengiris daging sapi menjadi bagian-bagian kecil. Elle tampak kesusahan ketika mngiris potongan terakhir. Melihatnya kesulitan Nate reflek duduk di kursi kosong di samping Elle dan mengambil alih pisau serta garpu. Mengirisnya menjadi bagian yang lebih kecil.

You never change. Not even a bit.

Seluruh indra di tubuh Elle seolah mati rasa. Dirinya hanya bisa diam.

Narendra diam memperhatikan gerak-gerik Nate. Ingin melihat seberapa jauh manusia itu akan berbuat. Merasa diperhatikan akhirnya Nate memperkenalkan dirinya.

Sorry, lupa ngenalin diri, I’m Nate, Elle’s ex boyfrien—”

“Narendra. I know about you. gak perlu dijelasin lagi.”

Nate menukikan sebelah alisnya. “Easy.”

“Lo mending sekarang pergi dari meja ini dan balik ke meja lo.” Narendra tidak senang dengan kehadiran Nate di mejanya dan Elle.

“Emang lo siapanya Elle? Cuma temen kan? Nggak usah ganggu gue sama Elle,” balas Nate.

Cukup sudah Narendra tidak ingin beradu kata dengan pria di depannya. Ia langsung menarik tangan Elle untuk bangkit dan meninggalkan restoran. Tidak peduli dengan makanan Elle yang belum habis. Kalau Elle masih merasa lapar ia akan melakukan delivery ke hotelnya dan Narendra yang akan mengurus semuanya.

Nate mengikuti keduanya keluar dari restoran. Ia menarik tangan Elle yang masih bebas dan berucap, “I still love you, Elle. Don’t you love me too?”

Elle memberikan pandangan yang sulit diartikan. Matanya memberikan sorot kecewa. Ia melepaskan tangannya dari Nate dan menarik Narendra hingga sampai di mobil milik pria itu. Tanpa disuruh Narendra langsung membuka pintu mobil untuk Elle dan mengemudikan mobilnya kembali ke hotel. Selama di perjalanan mereka tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Narendra sendiri mengerti kalau Elle mungkin butuh waktu untuk menjernihkan pikirannya.

CW // Vomiting

Elle kembali memuntahkan isi perutnya untuk yang kedua kalinya. Beruntung semalam ia sempat makan malam dalam porsi besar jadi perutnya tidak kosong saat meneguk wine.

Ia membasuh mulut dan tangannya di wastafel dan bercermin. Dirinya tampak sangat berantakan. Samar-samar ingatan kembali pada malam kemarin.

Ia merasa seolah sedang bertukar pesan dengan Nate hingga membuat dirinya kesal dan menangis. Semuanya terasa begitu nyata untuk menjadi mimpi.

Tepat ketika ia keluar dari kamar mandi terdengar suara pintu terbuka dan langkah kaki seseorang. Elle memasang posisi bersiap untuk memukul orang yang membawanya ke ruangan ini.

“Elle? Udah bangun ya? Gue bawain sup pereda pengar sama makan siang nih. Udah jam 2 soalnya.”

Elle kenal dengan suara itu. Suara milik seseorang yang amat sangat ia kenal. Sebentar. Kamar ini juga terlihat tidak asing beserta pemandangannya.

“NARENDRAAAA.” Elle berlari kemudian memeluk pria itu. “Gue kira gue lagi diculik.”

Narendra sedikit limbung namun berhasil menjaga keseimbangannya. Tangannya yang bebas ia bawa untuk memeluk balik pria di depannya.

“Duduk dulu Elle, makan supnya abis itu makan makanan yang gua bawa.”

Elle duduk di sebuah kursi kemudian mulai menyantap sup dan makanan siangnya. Narendra ikut duduk di kursi sebelah Elle dan menemaninya makan. Ia juga lapar dan belum makan siang.

Selesai makan Narendra menyeduh susu jahe yang ia bawa dari Indonesia untuk Elle.

“Kok bisa mikir lagi diculik, Elle?” Elle tersedak susu jahe hangatnya. “Eh sorry minum dulu abisin.”

“Ya abisnya gue terakhir inget kita lagi di rumah Grandpa abis itu tiba-tiba udah ada di sini. Kamarnya juga ga mirip sama kamar lu pas di rumah Grandpa,” jawab Elle selesai menghabiskan susunya.

“Kalo ternyata kamar tamu gimana?” goda Narendra.

“Ya I will still be freaked out lah.”

Narendra tertawa mendengar jawaban Elle. Satu hal yang ia suka dari pria yang kini berada di kamar hotelnya adalah dirinya yang selalu jujur dengan kalimatnya.

“Ngomong-ngomong gue kaya kenal furniture hotelnya. Ga cuma itu, view kamarnya pun gue kenal.”

“Oh? Lu ngerti soal furniture?”

Elle menggeleng, “Bukan itu. Kayanya kita nginep doi hotel dan lantai yang sama.”

“Wait. Kamar lu nomor berapa?” tanya Narendra.

“613,” jawab Elle.

Fuck. Dunia kaya lagi bercanda sama kita ya. After almost two years not meeting each other, dari berbagai tempat di belahan bumi kita ketemu di Paris lagi bahkan di restoran yang sama. Not to mention that in fact kita sama-sama orang indonesia. Sekarang kita juga sehotel dan kamar kita sebelahan. Kamar gue nomor 612 dan kamar lu 613. My mind is about to explode.”

Elle termangu dengan semua kata-kata yang ia dengar. Ada apa dengan semua kebetulan ini. Ungkapan mengenai dunia yang tampak sempit sepertinya ada benarnya atau jangan-jangan Narendra mengetahui segala informasi tentang dirinya. Kepalanya mendadak berdenyut kembali.

“Gue tau lu kaget tapi gue mau bilang kalo gue bukan seseorang yang bisa tau informasi orang lain. Aduh gimana, ya, bilangnya. Intinya gue bukan orang aneh. Ini semua murni kebetulan.”

Narendra memegang kedua bahu Elle, “Gue pun kaget banget pas lu bilang familiar sama furniture hotel ini. Kirain lu juga ngerti soal ciri khas dan bahan furniture tapi ternyata bukan itu maksudnya.”

“Na.”

“Iya?”

Sorry tadi sempet mikir yang aneh. It happens too suddenly. Otak gue kaya disuruh kerja rodi buat nyerna semuanya.”

It's okay I get it. Kalo jadi lu juga gua bakal shock dan mikir ke mana-mana. Even worst, gue udah lari kabur loncat dari balkon sambil berharap ada karpet terbang yang bawa gue pergi.”

Elle tertawa mendengar ucapan Narendra dan pria itu juga ikut tertawa mendengar suara tawa Elle yang menurutnya sangatlah lucu bagi telinganya. Seperti suara bayi yang tertawa.

“Na.”

“Iya?”

“Gue boleh numpang tidur di sini lagi ga? Mendadak ngantuk lagi.” Elle sudah kembali berada di atas kasur.

Dengan senang hati Narendra menjawab, “Boleh dong. Tapi ada feenya.”

“Berapa tuh?” tanya Elle.

“Bukan berapa tapi apa,” ucap Narendra. “Temenin gue selama beberapa hari ke depan.” Narendra tersenyum iseng.

“Dasar.”

“Lu belom ada plan kan? Nah temenin gue aja. Kebetulan gue udah ada plan sendiri mau ke mana. Poin plusnya gue juga bakal jadi tour guide pribadi lu lagi gimana?” goda Narendra.

“Ga perlu diucapin lagi udah tau kan jawaban gua?” Elle balas menggoda.

Narendra menghampiri kasurnya dan mencubit pipi Elle tanda gemas. Yang dicubit hanya bisa pasrah dan mengaduh. Sesudah mencubit ia mengelus pipi Elle. Di pikirannya terbesit untuk mencium pipi itu tapi cepat-cepat ia hilangkan.

“Dari pada megang pipi gua mulu mending sini tidur temenin gua.” Elle menepuk sisi sampingnya yang masih kosong.

Narendra langsung membawa dirinya untuk duduk di samping Elle. Ia menyalakan tv dan memilih netflix untuk menonton film. Elle ikut menonton film yang diputar oleh Narendra tapi beberapa saat kemudian ia tertidur di bahu Narendra.

CW // Alcohol, Drinking, Drunk Behavior

Usai makan malam Elle diberi sebotol champagne oleh sang kakek. Lalu kakek pamit untuk istirahat duluan. Meninggalkan Elle dan Narendra. Elle awalnya hanya ingin menyicipi sedikit rasa champagne tersebut kemudian ia terus meminumnya sampai setengah botol. Narendra tidak ikut minum karena dirinya harus menyetir mobil untuk mengantarkan Elle.

Elle sedang setengah mabuk ketika menerima chat tidak masuk akal dari Nate. Awalnya ia marah tetapi perlahan-lahan rasa marahnya berubah menjadi rengekan. Memori tentang sikap brengsek Nate yang memutuskan hubungan mereka dua tahun yang lalu berputar begitu saja layaknya film di bioskop.

Semuanya terlalu tiba-tiba dan tidak jelas tujuannya hingga membuat kepalanya berdenyut sakit. Elle terus merengek diselingi dengan air matanya yang turun. Narendra beberapa kali bertanya kepada Elle namun hanya rengekan dan isak tangis yang ia terima.

Elle menangis cukup keras hingga Kakek akhirnya keluar dari kamarnya untuk menengok keadaan mereka berdua. Sang Kakek merasa kasihan kepada Elle yang bersedih dan menyuruh pelayan untuk menyiapkan kamar tamu untuk Elle menginap.

“Grandpa ga perlu repot. Udah malem juga nanti biar aku yang anter Elle ke hotelnya.”

“Anter yang bener loh ya. Jangan macem-macem sama anak orang. Kaki kamu nanti Grandpa ganti jadi bambu.”

“Tenang. Aku kan anak baik rajin bekerja. Elle aman sama aku,” ucap Narendra memastikan kakeknya.

Akhirnya Kakek setuju dan membantu Elle untuk berjalan hingga ke mobil Narendra. Ketika Elle sudah duduk dengan sempurna ia menjalankan mobilnya tidak lupa mengucap salam kepada Kakek.

Sebenarnya Narendra tidak tahu di mana hotel yang ditinggali oleh Elle. Ia berbohong agar tidak merepotkan kakeknya dan pelayan rumah. Untuk sementara ia akan membawa Elle ke hotelnya dan tidur di kamarnya.

Ia juga tidak akan berbuat macam-macam kepada Elle. Kata-katanya saat di rumah Kakek bukanlah bualan semata. Narendra memang anak baik. Tingkah lakunya memang penuh dengan keberanian dan kadang ia terlihat seperti seseorang yang tahu cara bermain dengan hati orang tetapi itu semua tidak benar.

“Breng- sekkkk. Jelek lu.” Elle bergumam dalam tidurnya. “Ka—lo ketemu, nanti, awas, jelek dasar, ENYAHHHHH!!!” Narendra tertawa mendengar racauan Elle. Apa yang terjadi pada Elle akan ia tanyakan besok saja ketika pria itu sudah sadarkan diri.

Akhirnya mereka tiba di loby hotel. Narendra meminta petugas untuk memarkirkan mobilnya sementara ia menggendong Elle masuk ke hotel. Ia baringkan Elle di atas kasurnya. Melepas sepatu dan kaos kaki yang terpasang pada kaki Elle. Selimut dinaikan hingga menutupi bahu Elle.

“Sleep tight, Gabrielle.”

“Narendra, petik yang bener anggurnya! Malu sama Elle!” teriak sang Kakek.

Narendra kembali memetik anggur dari kebun kakeknya dengan sesuka hatinya. Kekananakan memang tapi tingkahnya membawa gelak tawa dari Elle.

Selesai memetik, semua anggur dikumpulkan di dalam satu box untuk kemudian diolah menjadi wine koleksi pribadi. Kakek memeluk cucunya kemudian memeluk Elle sebelum menaiki mobil menuju pabriknya untuk mengolah anggur-anggur tersebut.

Elle dan Narendra berjalan menyusuri sekitar kebun tersebut. “Eh ada strawberry juga?” tanya Elle ketika melihat beberapa tumbuhan buah berwarna merah di dekat gerbang belakang kebun.

“Iya, ada strawberry. Dulu pas kecil gua nanem bareng Grandma. Ga terlalu banyak karena emang ga niat dijadiin kebun kaya anggur. Tapi semenjak Grandma meninggal pas gua umur dua puluh, gua ga pernah suka strawberry lagi dan kayanya Grandpa tetep rawat karena strawberry itu buah kesukaan Grandma.”

“Na, sorry, I didn’t mean to bring you down.

Melihat perubahan ekspresi ketika Narendra bercerita singkat mengenai sejarah di balik buah berwarna merah tersebut membuat Elle tak enak hati. Namun, Narendra sebenarnya tidak merasa sedih sama sekali. Kematian neneknya memang sudah menjadi takdir yang tidak bisa diganggu gugat.

Semenjak Nenek meninggal rumah Kakek menjadi sepi. Maka dari itu ia selalu datang setahun sekali untuk mengunjungi kakeknya. Perasaan tak tergambarkan selalu hinggap setiap kali ia menginjakan kakinya di kebun ini dan perasaan tersebut lah yang membawa perubahan pada ekspresi Narendra sebelumnya.

It’s okay. Gue ga sedih kok. Cuma kangen aja sama Grandma. I’m totally fine, don’t worry too much, Gabrielle.” Narendra membenahi rambut Elle yang menutupi matanya.

“Lu suka strawberry ga? Gua petikin, nanti gua buat jadi sesuatu.”

“Suka! Suka banget. Gua bantu petik boleh ga?” tanya Elle.

“Emangnya bisa metiknya? Nanti salah lagi kaya metik anggur tadi,” goda Narendra.

Elle tersenyum lebar, “Ngga bisa hehehehe. Grandma, maaf ya kalo aku ga ikut bantuin Narendra metik strawberry soalnya tangan aku suka ceroboh.”

Hati Narendra menghangat ketika mendengar ucapan Elle. Kalau saja neneknya masih hidup mungkin dirinya sudah disuruh untuk memetik semua buah strawberry yang ada untuk diberikan kepada Elle.