bonjparoles

Tampaknya seseorang sedang tidak dalam suasana hati yang bagus. Pemandangan matahari terbenam dan indahnya langit oranye yang perlahan berubah menjadi ungu gelap tidak ada bandingannya dengan perasaan Eli yang dari tadi melihat sebuah postingan baru di akun Instragram mantannya. Di situ mantannya terlihat bahagia dengan pasangan barunya atau mungkin saja calon. Who knows anyway. Kids in this era prefer to be in a situationship rather than in a real one. No offense. **

“Itu muka ditekuk aja. Dari tadi ngeliatin apaan sih?” Marc mencoba mengintip layar handphone Eli. “Mantan gue. Dia post foto bareng cowo barunya. Padahal putus sama gue belom ada sebulan.”

Niko mencebik. “Aaelah (Eli)on, lo yang mutusin kenapa lo yang galau. Biasanya juga bodo amat.”

“Anjing. Dibilang jangan manggil gue On doang. Lagian itu mantan gue cepet banget move on. Pasti emang udah ada cowo lain pas kita masih pacaran”

“Nah. Makanya cocok dipanggil oon.” balas Niko. “Makanya jangan suka mainin hati orang. Dimainin balik malah kesel.”

“Ngga kesel sih tapi bingung aja.” Eli menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Bodo amat ah. Mau meluk Nini aja.” Si pemilik nama tidak menghiraukan percakapan temannya. Dari tadi ia hanya asik scroll video reels sambil membaringkan perutnya di atas kasur.

“Ni….”

“Nini!!!”

Masih diam tidak bergeming. Tidak ada cara lain Eli ikut berbaring dan menepuk pantat dengan keras Daniel yang langsung melotot. “NGAPAIN SIH NGGA JELAS BANGET. SAKIT TAU.” Eli hanya tersenyum dan memamerkan gigi putihnya. “Tadi dengerin gue ngomong ga, Ni?” Orang yang ditanya menggeleng.

“Okay, jadi selama ada Nini yang lain ngga ada tandingannyaaaaa.” Eli kini memeluk Daniel dan mengguncangnya ke sana kemari lalu mencuri sebuah ciuman di pipi.

“WOY. LEPASIN TANGAN LO.”

Mikha melempar handphone miliknya ke sembarang arah untuk melepaskan pelukan Eli dari Daniel. Dibantu dengan Marc akhirnya mereka malah jadi saling adu mulut. Berlomba-lomba siapa yang lebih pantas untuk bersanding dengan Daniel Cassia Gray. Melihat sebuah kesempatan dalam kesempitan Niko berbisik mengajak Daniel untuk ke kamar sebelah sementara yang lainnya tiba-tiba beradu panco melupakan presensi orang yang mereka ributkan.

Di kamar yang jauh lebih tenang, Daniel menyenderkan kepalanya pada bahu Niko dan sebaliknya Niko meletakan kepalanya di atas kepala sahabatnya. Selimut ditarik sampai setinggi dada. Mereka berdua menonton series Gossip Girl. Sambil sesekali berkomentar mengenai karakter film tersebut hingga terlelap.

Daniel smiled in his dream wishing they could be forever like this. Life would be so amazing if nothing bad happened but we always need spice to make things more exciting.

Kelima bocah SMA tahun terakhir itu akhirnya tiba di Bali setelah kekacauan yang sudah mereka perbuat. Dimulai dari rencana pergi yang mendadak dan Niko yang sudah terlanjur booking pesawat beserta villa hari itu juga. Mereka memang biasa melakukan impromptu trip tapi selalu ada selangan waktu sehari untuk bersiap. Namun kali ini Niko lah yang mengambil alih peran Daniel yang biasanya menjadi penyusun segala hal di pertemanan mereka. Hasilnya semua dijalani dengan terburu-buru, hampir saja mereka tertinggal pesawat kalau saja tidak delay selama 2 jam. Ditambah mereka yang melakukan hompimpa untuk menentukan siapa yang duduk di sebelah Daniel dan Marc yang menjadi pemenangnya.

Setelah sampai di villa mereka kembali ribut untuk menentukan makan malam yang sudah sangat larut. Tidak ada pilihan lain mereka akhirnya memesan ayam McDonald's dan kembali melakukan hompimpa untuk menentukan 2 orang yang akan keluar membeli makanan. Eli dan Marc menjadi korban kekalahan dan harus berjalan kaki membeli makanan, sementara ketiga orang lainnya belanja kebutuhan mereka untuk sesaat di Indoapril.

The next day

Daniel bangun dari tidurnya di saat yang lain masih terlelap dengan nyenyak. Semalam setelah menghabiskan makanannya ia memilih untuk tidur duluan karena sudah tidak kuat menahan kantuk. Jadi lah sekarang ia bangun lebih awal. Ia menggosok gigi dan mencuci muka kemudian memakai sunscreen. Saat sedang berjalan ke ruang tamu ia mendengar suara seseorang yang sedang memetik gitar dan bersenandung pelan mencari nada yang pas untuk gitarnya.

Di balkon yang jendela dibuka dengan lebar terdapat Marc yang punggungnya menghadap Daniel. Sejak kapan bahu temannya menjadi selebar sekarang, padahal dulu Daniel yang paling besar di antara temannya. He can't take his eyes off of Marc’s back. His best friend only wear a short pants with no clothes which makes Daniel gulped so hard. Rambutnya yang setengah basah bergerak karena semilir angin pagi lengkap dengan sinar pancaran sinar matahari yang membuat temannya itu terlihat sangat attractive di mata Daniel. Now he knows why some people are crazy about Marc not to mention his voice while singing Good Days by SZA and how good his fingers moves strumming melodies out of his guitar.

Tanpa sadar Daniel ikut bernyanyi membuat pemuda yang sedang memetik gitarnya itu menoleh ke belakang. Ia panggil Daniel untuk ikut duduk bersamanya, “Nini sini sunbathing.” Tapi ditolak oleh Daniel. “No. Panas. Gue juga ga kuat kalo bersin mulu.” He's alergic to sun. Not a serious kind of allergy but he gets tired when he has sneezes nonstop. Marc bergeser ke tempat yang lebih sejuk yang tidak berhadapan dengan sinar matahari.

“Sini, ngga silau kok, gue halangin juga sinarnya.” Akhirnya mau tidak mau Daniel luluh dan duduk di antara kaki Marc dan bersender ke dada bidangnya. Lengan Marc yang panjang sangat berguna untuk situasi sekarang, gitarnya ia taruh di depan Daniel dan tangannya menjulur untuk memetik senar. Mereka lanjut bernyanyi Good Days dan lagu-lagu lainnya yang sesuai dengan mood pada pagi hari. Lazy, warm, and comforting.

Selama bersandar pada dada Marc dapat Daniel dengar betapa cepatnya jantung pria tersebut berpacu. Mungkin efek dari adrenalin selama bernyanyi sambil memainkan gitar tanpa salah sedikit pun. Nyanyian mereka berubah menjadi senandung lalu menyisakan hanya Marc yang terus memetik senar gitarnya, mencoba meraba tangga nada dari lagu yang belum pernah ia mainkan. Fokus Daniel tidak lagi ke alunan nada melainkan pada wajah pria yang sedang merengkuhnya dalam pelukan. Sejak kapan Marc yang tadinya mirip seekor tupai berubah menjadi pria dewasa. Tulang pipi dan garis rahangnya menajam. Dagunya juga tidak lagi polos seperti anak kecil.

Daniel tried to reach Marc’s unshaved stubble. Unable to resist the growing curiosity of how will they feel across his skin. He wasn't aware of what he did but neither was Marc showing discomfort. He leans to his touch. They stay like that for a while. Marc yang menatapnya dengan penuh pemujaan dan Daniel yang sendu. Ia sedang dihantam dengan kenyataan bahwa teman kecilnya kini sudah menjadi pria dewasa. “Marc, you've grown so much.” Sang pemilik nama tersenyum. “You too. Grown into a such beautiful man, Nini.” Marc menyentuh jemari Daniel yang masih berada di wajahnya. Ia bawa tangan tersebut untuk diberi ciuman. “My beautiful Daniel or should I say Nini.” Daniel tersenyum mendengarnya.

Mikha akhirnya mengalihkan pandangannya dari memilih bawang putih. Menaruh seluruh atensinya pada seseorang yang sibuk membolak-balikan kentang. “Mik, mau kentang ga?” tanya Daniel saat akhirnya berhasil mendapatkan perhatian Mikha. “I feel like eating mashed potato,” lanjutnya. Dengan cepat ia taruh sebungkus kentang ke dalam trolley.

“Tapi ga ada yang mau makan kentang selain lu. Taro lagi kentangnya.” Daniel menggeleng acuh dan akhirnya Mikha yang harus menaruh kembali kentang tersebut. “Kok ditaro lagi?” Pertanyaan yang lebih mirip dengan perasaan tidak terima. Mikha mengangkat bahunya. “Tadi kan udah gue bilang. Kupingnya ga denger ya?” and here we go pouty Nini karena permintaannya ditolak mentah-mentah. Ia akhirnya pergi ke rak berisi snack, sedangkan Mikha kembali memilih bawang putih terbaik untuk dimasak beberapa hari ke depan.

Ketika mereka sampai di villa Mikha menyuruh Daniel untuk memanggang daging duluan. “Nanti gue nyusul bawa sayurannya.” Setelah melihat Daniel yang mulai sibuk memanggang daging di luar dengan gerakan yang cepat ia mencuci kentang yang ia sembunyikan dibalik belanjaan lainnya. Saat Daniel pergi mengambil snack Mikha menaruh kembali kentang yang sempat ia tolak. Dipotongnya kentang tersebut sambil menunggu kentang lainnya dikupas oleh Niko yang tadi tiba-tiba datang ke dapur. “Buat Nini kan? Gue bantu sini.” Berkat bantuan tangan lain Mikha bisa lebih santai memasak.

“Guys sayurnya mana? Nini nanyain katanya udah 15 menit tapi sayurnya ga dateng-dateng,” ucap Marc. “Aduh lupa gue cuci. Lo tolong cuciin dong. Gue lagi sibuk sama kentang.” Niko sibuk menumbuk kentang sedangkan Mikha membuat takaran saus.

“Nini?” “Iya. Tapi diem dulu.” “Why?” “Tadi pas dia masukin ke trolley kentangnya gue taro balik ke rak terus ngambek deh anaknya. Niat gue bercanda doang tapi keburu ngambek duluan.”

What a cutie. Marc dan Niko menggumam bersama. “You guys better hurry. Sayur dimasaknya ga lama, Nini juga dari tadi udah keliatan bete.” Ujar Marc meninggalkan dapur.

“Nik. Mik. Daging sama sayurannya udah mateng. Buruan ke sini,” teriak Eli. Mikha memberikan gestur duluan kepada Niko. Memastikan kembali rasanya sudah pas dan enak Mikha menyusul teman-temannya di luar tapi gerakan terhenti ketika Daniel tiba-tiba masuk ke dapur. “Mik, lama amat sih dari tadi ditungguin— is that?” Senyum lebar merekah di wajah Mikha. “Mashed potatoes, sesuai pesanan atas nama Daniel.”

Daniel segera memeluk Mikha yang hampir menjatuhkan semangkok penuh kentang tumbuk. “You don't have to do this, you know.” Mikha kembali memasang senyumnya. “But I want to.”

“Stupid Mika.” Daniel mengambil mangkoknya dari tangan Mikha dan memeluknya erat. “Thank you, Mik.”

Senyuman tidak kunjung luntur dari wajah Mikha. Your wish is my command, sweetheart. Hanya mampu ia ucapkan dalam hatinya. Mikha dan segala gengsinya.

Sembari menunggu kelasnya Elion selesai bertanding Daniel menempeli Marcus dan terus menagih pocari yang telah dijanjikan. Kalau saja Marcus bukan orang yang memiliki iman lemah mungkin udah dari kemarin ia masuk rumah sakit karena wajah merajuk Daniel merupakan serangan yang fatal bagi kewarasan dan hatinya.

Bel berbunyi dan waktu bermain telah berakhir. Tim kelas Elion menang dan akan lanjut ke babak final. Marcus, Nikolei, dan Mikha memberikan jempol mereka kepada Elion. Memuji penampilannya saat bermain tadi, sementara Daniel sudah turun ke lapangan dan bersiap untuk bertanding dengan tim kelas lain untuk maju ke babak final. Elion mencuri ciuman di pipi Daniel sebelum kabur meninggalkan lapangan dan teman-temannya yang ada di tribun menggerutu kesal. “Eli awas aja, ya, kuping lu gue sate nanti!” Niko berteriak mengancam.

Hampir setengah jam terlewati kelas Daniel berhasil maju ke babak final yang artinya dia akan melawan timnya Elion. “Good job, Nini!” teriak Mikha yang dilanjut oleh Nikolei dan Marcus, “Good game, honeypie, here's your pocari.” Marcus turun dari tribun dan menyerahkan sebuah botol pocari pada Daniel. “Katanya satu box?” Dengan cepat cairan ion itu membasahi kerongkongannya yang sempat kering. “Easy baby nanti keselek, sisanya ada di mobil gue nanti gue ambilin lagi,” jelas Marcus.

“Nini, laper gak? Gue bikin biskuit oat buat ganjel,” tawar Mikha yang diangguki dengan sangat antusias oleh Daniel. “Thank you, Mik, gue laper banget—”

“NINI!!!!” Tubuh Daniel diangkat dan diputar dengan kasar. “Niel, turunin dong malu,” akhirnya tubuhnya diturunkan oleh tersangka bernama Daniela, “Terus juga jangan panggil Nini kalo lagi di publik. Berlaku buat kalian juga,” Daniel menunjuk menggunakan mata kepada teman-temannya. Mikha dan Niko saling bertatapan kemudian berusaha menahan senyum. Daniel memicingkan matanya kepada mereka karena ia tahu arti dibalik senyuman itu tapi ia tidak mau pusing dan ingin beristirahat sebentar sebelum babak final dimulai.

˗ˏˋ ♡ ˎˊ˗

Dalam hitungan ketiga bola akan dilambungkan dan akan menjadi penentu tim siapa yang akan memegang kendali pada pertandingan final basket. Elion berdiri di belakang temannya sementara Daniel berada di tengah. Ia menjadi perwakilan kelasnya untuk merebut bola yang saat ini sedang melambung tinggi. Saat-saat paling menegangkan bagi kedua tim terlebih Elion yang berharap agar Daniel yang merebut bola tersebut dan doanya terkabul. Tim Daniel memimpin pertandingan pada menit awal.

Semua murid berseru dan meramaikan pertandingan final basket hari ini termasuk tiga orang sahabat yang sedang memegang sebuah spanduk yang siap untuk mereka lebarkan. Tepat saat bola kembali jatuh kepada Daniel ketiga sahabat itu membuka lebar spanduk yang sudah mereka pegang dari awal pertandingan. Nikolei berteriak menggunakan toa, “GO NINI GO NINI GOOOO!!!!!” Hal tersebut tentunya menyita perhatian semua murid karena mereka sangat heboh menerikan nama kecil Daniel dan yang namanya sedang diteriaki menahan malu. Jauh di lubuk hatinya ia senang mendapat support dari ketiga temannya.

Daniel memacu langkahnya semakin mantap. Di depan ada sebuah kejutan yang menanti. Tiba-tiba dirinya dan Elion terpojok pada posisi 1 vs 1 yang tidak berlangsung lama karena Elion terkecoh sehingga Daniel dapat kembali melakukan dribble dan mencetak skor baru. Di mata orang lain Elion memang nampak ceroboh karena salah mengambil langkah, andai mereka tahu Elion melakukannya dengan sengaja pasti ia langsung diganti dengan pemain lain. He'll do anything for Daniel.

Pertandingan selesai dan kelas Daniel menjadi pemenangnya. Mereka melakukan selebrasi kemenangan sementara tim lawan sibuk mengatur napas mereka. Namun satu orang tampak punya rencana lain dan tidak ingin membuang waktu. Ditariknya pinggang Daniel dan ia angkat layaknya anak kucing. Matanya menyipit dan ujung bibirnya naik ke atas. Ia putar Daniel hingga mereka berdua oleng.

“Congrats, Ni,” ucap Elion saat memeluk Daniel. “Thanks, tapi pelukannya ntar lagi ya. Temen sekelas lu bete semua tuh mukanya.” Teman sekelas Elion menunjukan muka sebal karena interaksi yang baru saja ia lakukan dengan Daniel yang merupakan tim lawan. “Biarin. Mereka iri ngga bisa meluk dan manggil Nini.” Elion berusaha memeluk Daniel kembali.

“Eli, diem ah lu bau keringet.” Daniel berusaha melepaskan dirinya dari pelukan. “Lu juga bau keringet tapi gue tetep suka tuh. Sini peluk lagi aww—” lengan Elion digigit dan Daniel kabur menuju ruang loker. “Nini… NINIIII TUNGGU DONG!!!” Elion ikut mengejar Daniel yang berlari panik. “JANGAN NGEJAR. BADAN LU BAU PARFUM BAPAK-BAPAK.” Tingkah laku Daniel dan Elion menjadi tontonan semua yang ada di aula dan mengundang gelak tawa gemas.

Kelima bocah SMA tahun terakhir itu akhirnya tiba di Bali setelah kekacauan yang sudah mereka perbuat. Dimulai dari rencana pergi yang mendadak dan Niko yang sudah terlanjur booking pesawat beserta villa hari itu juga. Mereka memang biasa melakukan impromptu trip tapi selalu ada selangan waktu sehari untuk bersiap. Namun kali ini Niko lah yang mengambil alih peran Daniel yang biasanya menjadi penyusun segala hal di pertemanan mereka. Hasilnya semua dijalani dengan terburu-buru, hampir saja mereka tertinggal pesawat kalau saja tidak delay selama 2 jam. Ditambah mereka yang melakukan hompimpa untuk menentukan siapa yang duduk di sebelah Daniel dan Marc yang menjadi pemenangnya.

Setelah sampai di villa mereka kembali ribut untuk menentukan makan malam yang sudah sangat larut. Tidak ada pilihan lain mereka akhirnya memesan ayam McDonald's dan kembali melakukan hompimpa untuk menentukan 2 orang yang akan keluar membeli makanan. Eli dan Marc menjadi korban kekalahan dan harus berjalan kaki membeli makanan, sementara ketiga orang lainnya belanja kebutuhan mereka untuk sesaat di Indoapril.

The next day

Daniel bangun dari tidurnya di saat yang lain masih terlelap dengan nyenyak. Semalam setelah menghabiskan makanannya ia memilih untuk tidur duluan karena sudah tidak kuat menahan kantuk. Jadi lah sekarang ia bangun lebih awal. Ia menggosok gigi dan mencuci muka kemudian memakai sunscreen. Saat sedang berjalan ke ruang tamu ia mendengar suara seseorang yang sedang memetik gitar dan bersenandung pelan mencari nada yang pas untuk gitarnya.

Di balkon yang jendela dibuka dengan lebar terdapat Marc yang punggungnya menghadap Daniel. Sejak kapan bahu temannya menjadi selebar sekarang, padahal dulu Daniel yang paling besar di antara temannya. He can't take his eyes off of Marc’s back. His best friend only wear a short pants with no clothes which makes Daniel gulped so hard. Rambutnya yang setengah basah bergerak karena semilir angin pagi lengkap dengan sinar pancaran sinar matahari yang membuat temannya itu terlihat sangat attractive di mata Daniel. Now he knows why some people are crazy about Marc not to mention his voice while singing Good Days by SZA and how good his fingers moves strumming melodies out of his guitar.

Tanpa sadar Daniel ikut bernyanyi membuat pemuda yang sedang memetik gitarnya itu menoleh ke belakang. Ia panggil Daniel untuk ikut duduk bersamanya, “Nini sini sunbathing.” Tapi ditolak oleh Daniel. “No. Panas. Gue juga ga kuat kalo bersin mulu.” He's alergic to sun. Not a serious kind of allergy but he gets tired when he has sneezes nonstop. Marc bergeser ke tempat yang lebih sejuk yang tidak berhadapan dengan sinar matahari.

“Sini, ngga silau kok, gue halangin juga sinarnya.” Akhirnya mau tidak mau Daniel luluh dan duduk di antara kaki Marc dan bersender ke dada bidangnya. Lengan Marc yang panjang sangat berguna untuk situasi sekarang, gitarnya ia taruh di depan Daniel dan tangannya menjulur untuk memetik senar. Mereka lanjut bernyanyi Good Days dan lagu-lagu lainnya yang sesuai dengan mood pada pagi hari. Lazy, warm, and comforting.

Selama bersandar pada dada Marc dapat Daniel dengar betapa cepatnya jantung pria tersebut berpacu. Mungkin efek dari adrenalin selama bernyanyi sambil memainkan gitar tanpa salah sedikit pun. Nyanyian mereka berubah menjadi senandung lalu menyisakan hanya Marc yang terus memetik senar gitarnya, mencoba meraba tangga nada dari lagu yang belum pernah ia mainkan. Fokus Daniel tidak lagi ke alunan nada melainkan pada wajah pria yang sedang merengkuhnya dalam pelukan. Sejak kapan Marc yang tadinya mirip seekor tupai berubah menjadi pria dewasa. Tulang pipi dan garis rahangnya menajam. Dagunya juga tidak lagi polos seperti anak kecil.

Daniel tried to reach Marc’s unshaved stubble. Unable to resist the growing curiosity of how will they feel across his skin. He wasn't aware of what he did but neither was Marc showing discomfort. He leans to his touch. They stay like that for a while. Marc yang menatapnya dengan penuh pemujaan dan Daniel yang sendu. Ia sedang dihantam dengan kenyataan bahwa teman kecilnya kini sudah menjadi pria dewasa. “Marc, you've grown so much.” Sang pemilik nama tersenyum. “You too. Grown into a such beautiful man, Nini.” Marc menyentuh jemari Daniel yang masih berada di wajahnya. Ia bawa tangan tersebut untuk diberi ciuman. “My beautiful Daniel or should I say Nini.” Daniel tersenyum mendengarnya.

“Kadang aku masih aja ngerasa malu dipanggil Nini. Padahal yang bikin Daddy karena Dani sama Niel udah diambil saudara aku. Lebih malu lagi pas di sekolah kamu sama yang lain suka kelepasan manggil Nini.” Daniel mengeratkan genggamannya yang berada di tangan Marc. “Don't be. Honeypie, listen, kalau ada yang berani ngejek kamu karena nama panggilan aku jamin orang itu bakal nyesel pernah satu sekolah sama kita. Also, Nini suit you well.” Marc kembali mencium tangan Nini dan memeluknya semakin erat. “Uncle Ruby made the best nickname for you.” Marc tidak peduli kalau ada yang melihat ia cium pucuk kepala Daniel untuk memberitahu seberapa sayang ia dengan pria dalam pelukannya.

Suara alarm tiba-tiba berbunyi dari salah satu handphone temannya yang menyadarkan mereka dari suasana sebelumnya. A little bit of awkwardness suddenly fills the gap. Marc memilih acuh dan gitarnya yang sedari tadi sudah tergeletak digeser lebih jauh. Ia tarik Daniel untuk telentang bersamanya dan dipeluknya dengan erat ketika mendengar langkah kaki mendekat. “Sugar pie, honey bunchhhhh. You know that I love you! I can't help myself. I love you and nobody else!!!!!” Marc kemudian mencium pipi Daniel berkali-kali yang membuatnya tertawa geli.

“WOI NGAPAIN LO BERDUA,” teriak Niko dilanjut dengan usahanya untuk mengikut sertakan dirinya dalam kegiatan Marc dan Daniel. Mereka bertiga tampak konyol berguling-guling di balkon. Marc mengeratkan pelukannya sambil berusaha menendang Niko. Daniel tidak bisa berhenti tertawa di perpotongan leher Marc. “No one can have my one and only honeypie.”

Kalau ada kata yang lebih bisa menggambarkan ‘terpesona’ maka Keanu akan bersembah sujud kepada penemu kata tersebut. Terpesona saja tidak cukup untuk menjelaskan apa yang ia rasakan sekarang. Sudah tak terhitung berapa kali ia terpesona hari ini. Harveynya, iya, Harveynya. Pria dengan rupa menawannya yang membuat Keanu ingin memukul siapa saja yang berani menyakitinya.

Harvey selalu membuat dadanya berdegup kencang. Hembusan napas saja mampu membuat Keanu kalang kabut.

Namun, tidak hanya Keanu saja yang terpesona oleh Harvey. Para mahasiswa yang sedang berada di universitasnya juga ikut terkagum-kagum ketika Harvey berjalan di sekitar mereka. Keanu kira tempat ini akan sepi mengingar mereka berkunjung saat libur panjang sedang berlangsung tapi perkiraannya meleset jauh. Perasaannya menjadi sedikit sebal ketika ada beberapa orang yang coba menggoda pacarnya.

Rasa cemburunya terus memuncak sampai akhirnya ia merajuk ingin istirahat sebentar di hotel. Merasa kasihan akhirnya Harvey menyudahi acara melihat-lihat kampus yang akan menjadi tempat belajar Keanu dan pergi menuju hotel.

Diletakan barang-barang bawaan mereka saat tiba di kamar. Harvey merapikan sedikit barang mereka sementara Keanu membasuh dirinya di kamar mandi untuk menyegarkan pikirannya dari rasa cemburu. Tak lama kemudian ia selesai menjernihkan pikirannya. Dibukanya pintu kamar mandi dan pemandangan yang pertama kali ia lihat adalah Harvey yang sedang sibuk melakukan mix and match di depan cermin besar.

Lagi, dirinya terpesona saat melihat Harvey yang bergerak ke kiri dan ke kanan untuk melihat apakah pakaiannya membuat bentuk tubuhnya aneh atau tidak. Sadar Keanu sedang memperhatikannya melalui pantulan cermin Harvey memutar tubuhnya menghadap sang pacar. Detik itu juga matanya hampir keluar.

“KEANU HANDUKNYA MELOROT!!!”

“HAH.”


Kuping dan wajah Keanu tidak kunjung padam dari merah. Memalukan sekali handuknya tiba-tiba lepas dan dengan tidak sengaja ia mempertontonkan aset berharganya di depan Harvey yang baru menjadi pacarnya selama sebulan lebih lima belas hari.

“Udah ih ngapain malu terus-terusan. Kita sama-sama cowo, aku juga punya aset kaya kamu— mukanya jangan ditutup.” Harvey dengan sekuat tenaga ia berusaha menyingkirkan tangan Keanu. Namun sia-sia, tenaganya tidak sebanding dengan tenaga Keanu.

“Malu lah aku bikin kamu ngeliat adegan gak senonoh.” Keanu menarik selimutnya sampai atas kepala dan segera ditahan oleh Harvey. Lengannya digigit dengan kencang hingga ia reflek melepas tarikan pada selimutnya.

“Vey, sakit dong digigit.” Diusapnya bagian yang tadi digigit oleh kekasihnya. “Ya lagian kamunya,” balas Harvey.

“Lagian kamu ngapain deh sampe nggak sadar handuknya udah jatoh di lantai?”

“Terpesona.”

“Maksudnya?”

“Aku terpesona punya pacar cantik banget. You are the most gorgeous person I’ve ever met. Salah. Satu-satunya makhluk paling cantik yang pernah aku liat. Apapun yang kamu lakuin, walau cuma napas sekali pun tetep keliatan cantik di mata aku.”

Harvey yang sedang duduk bersila di atas kasur langsung membungkus tubuhnya dengan selimut. Giliran dirinya yang malu dengan semua perkataan Keanu.

Dengan gerakan yang lembut ia tarik selimut tersebut. Membuat Harvey terlihat seperti anak bayi yang dibedong ibunya. “I was always admiring you in silent. Sekarang aku bisa ngagumin secara langsung.” Ditangkupnya wajah Harvey dalam telapak tangannya. “I was once your personal admirer and will always be your personal admirer.”

Jarak di antaranya menipis. Bibir mereka hampir saling sapa kalau saja perut Harvey tidak tiba-tiba protes minta diberi makan. Keanu tertawa dan mendaratkan kecupan ringan di pipi Harvey. “Ayo cari makan dulu. We can always do it in another time, okay?” Diusapnya pipi kemerahan itu.

Harvey menarik kembali selimutnya untuk menutupi wajahnya dan bergumam, “Okay.”

Here they are sitting on the chair and waiting for the food to be serve. Harvey menengok ke kiri dan kanan karena penasaran dengan desain yang tertera di dinding restoran, pria di depannya hanya berdiam diri sambil mengagumi indahnya sang kekasih hati.

Teringat sesuatu akhirnya Harvey menyudahi acara melihat-lihat. “Oiya, tadi kamu mau ngomong apa?” tanyanya sedikit ragu. Ini pertama kalinya mereka bertemu setelah pulang dari hotel dengan status sebagai sepasang kekasih. Pertama kalinya juga Harvey menggunakan aku-kamu secara langsung kepada pacarnya.

Keanu berdeham menghilangkan rasa gugupnya. Cepat atau lambat ia harus memberitahu Harvey tentang hal ini. “Besok pengumuman SBMPTN,” ucapnya dengan hati-hati. “Iya. Semoga temen-temen kita yang ikut SBM bisa keterima,” jawab Harvey dengan riang.

“Aku salah satu pesertanya.”

Panik di dalam diri Keanu semakin meronta ingin keluar. Ia tidak sanggup untuk menerima respon dari kekasihnya. Terlihat ada sorot gundah pada mata Harvey yang membuat Keanu ingin menarik ucapannya sekarang juga.

“Di mana?”

“Bandung.”

Percakapan mereka terhenti sejenak. Hening menemani mereka yang sibuk dengan pikirannya masing-masing. Saat makanan tiba pun tidak ada yang berbicara.

Harvey meletakan sendok dan garpu di atas piring, “I’m done eating.” Bukan karena selera makannya yang menguap, Harvey hanya mengucapkan kalimat yang kerap kali diucapkan setelah selesai menyantap makanan. Keanu menyusul kemudian.

“Vey,” panggil Keanu dengan lirih.

“Bosen, jalan ke tempat lain yuk?”

Keanu menghela napas pasrah, “Ke rumah aku, mau?” tanyanya yang dibalas dengan anggukan. Detik berikutnya mereka sudah berjalan menuju mobil dan Keanu mengemudikan mobilnya ke tempat ia tinggal.

Keanu membawa Harvey ke kamarnya dan merapikan sofa kecilnya yang berantakan agar Harvey bisa duduk nyaman. Ia tarik kursi lain karena sofanya hanya muat diduduki satu orang. Setelah nyaman dengan posisi masing-masing mereka kembali diam. Harvey sibuk membuat pola acak di bantal kecil yang ia peluk yang mana terlihat lucu di mata Keanu.

“ITB ya berarti”

Keanu mengalihkan pandangannya dari jemari ke wajah Harvey. “Iya, ITB.”

Harvey tersenyum dan membalas tatapan Keanu,“Semoga keterima jadi maba ITB.”

Bukan ini respon yang ditunggu Keanu. Otak pintarnya berusaha mencerna ucapan Harvey. Ia sudah menyiapkan beberapa kalimat balasan kalau-kalau pacarnya marah atau setidaknya sedih tapi yang terjadi malah sebaliknya. Harvey dengan bangga mendoakannya agar diterima di kampus tersebut.

Melihat kekasihnya yang kebingungan Harvey tertawa kecil, “You think I will be mad and sad? nggak bakal. Buat apa aku marah karena hal kaya gitu doang. I’m proud and happy for you, Ken.”

Keanu hendak membuka mulut ingin memprotes tetapi bibirnya kembali mengatup. Semakin bingung mau bereaksi apa. “Sedih sih sedikit soalnya kita harus LDR. Tapi nggak apa-apa. Jaraknya gak terlalu jauh juga. Aku bisa nyamperin ke Bandung tiap weekend kalo lagi nggak sibuk. Bayangin deh how cool it is punya pacar anak ITB. Awas aja itu kampus berani nolak kamu, aku marahin nanti.”

Keanu harusnya senang dengan dukungan yang Harvey beri tetapi dirinya malah bertambah sedih. “Aku malah berharap nggak diterima. Biar bisa ke PTS di sini. Satu universitas sama kamu.”

Harvey menekuk alisnya. “Jangan gitu dong. Kamu harusnya prioritasin diri sendiri dan tujuan kamu. Jangan karena aku malah kamu buang gitu aja mimpinya. If you dare to do it I won't hesitate to break up with you,” ancam Harvey. Sebuah tangan melingkar pada pinggang rampingnya, membawanya lebih dekat ke dalam pelukan. Keanu berlutut dan membenamkan wajahnya di perut Harvey. “Jangan. Nggak mau putus.”

Diusapnya kepala yang mendusal di perutnya. “Apapun hasilnya nanti diterima, ya. Tapi kalo kamu berani berbuat aneh, omongan aku tadi masih berlaku.” Ultimatum yang diberikan kepada Keanu membuatnya semakin mengusakan kepalanya pada perut Harvey.


Matanya melihat dengan gusar. Dengan perlahan ikut berhitung mundur. Menunggu waktu pengumuman tiba. Harvey pegang tangan Keanu yang dari tadi tidak berhenti bergetar. Mencium tangannya guna menenangkan sang kekasih.

Waktu menunjukan tinggal tiga puluh detik lagi sebelum pengumuman. Saat tiba saatnya Keanu terlalu gugup hingga Harvey lah yang mengetikan informasi yang dibutuhkan untuk membuka hasil SBMPTN. Harvey berteriak ketika melihat tulisan pada layar monitor. Keanu diterima di kampus impiannya. Sebuah ciuman pada pipi ia hadiahkan kepada kekasihnya yang masih sangat gugup dan tidak bisa berhenti gemetar.

I'm so proud of you, Ken.” Harvey benar-benar bangga dengan kekasihnya. Dipeluknya tubuh atletis itu dengan erat. Ia terlalu senang sampai-sampai tak menyadari sebuah isakan telah menginterupsi sedari tadi. Keanunya menangis.

“Kita beneran LDR? Aku nggak mau.” Ucapannya terlalu pilu untuk didengar. Bagi sebagian orang mungkin ini hanyalah masalah sepele yang tak perlu dibesarkan. Namun bagi Keanu ini adalah masalah yang amat besar. Baru saja dia dan Harvey menjadi sepasang kekasih tetapi harus kembali berpisah karena pendidikan. Seakan semua usaha yang telah ia perjuangkan dihempas dengan sia-sia oleh keadaan.

Di sisi lain di balik wajah dan intonasinya yang riang ada kesedihan yang mendalam. Harvey juga sedih mereka harus berpisah. Bisa saja ia bertindak egois dan melarang Keanu untuk pergi menempuh pendidikannya di luar kota, tapi ia akan menjadi orang paling jahat kalau menuruti permintaan hatinya.

Harvey menarik napas dalam. “Ken, I'll visit you once a week. Aku bakal belajar nyetir biar bisa bawa mobil sendiri ke Bandung. You don't need to worry. Kamu juga bisa video call kalo kangen. I know it will be tough but I swear we're going to be just fine. Kuncinya cuma komunikasi.”

What if we fail? what if I failed?

We will. Kamu cukup cerita gimana keseharian kamu. Nggak perlu semua diceritain yang penting kamu cerita dan nggak diem aja pasti nggak akan terjadi apa-apa.” Harvey menjauhkan kepala Keanu dari pelukannya. “Udah ya jangan nangis terus. Jelek tau kaya kebo.” Ibu jarinya dengan telaten menghapus air mata dan ingus Keanu tanpa rasa jijik sedikit pun. Diambilnya tisu basah di atas meja dan ia elap tangannya ke tisu tersebut.

Let's go tell your parents and Puput about this good news, shall we?

Dengan secuil tenaga yang ia punya Keanu bangkit berdiri dan menerima uluran tangan Harvey, “Let's go.”

Nancy terus mencari di mana keberadaan sahabatnya. Waktu sudah menunjukan pukul 8.30 hampir memasuki puncak acara yaitu pengumuman Prom Queen & King. Banyak murid yang telah berkerumun bersiap untuk mendengar nama dari orang yang terpilih.

Katie menenangkan Nancy yang terus bergerak gelisah. “Dia pasti dateng, Nance. Kalau pun nggak dateng nanti kita samperin kamarnya terus omelin dia karena udah bikin nunggu.” Kata-kata dari Katie tidak berpengaruh apa-apa pada Nancy yang membuatnya menghela napasnya sambil sesekali ikut mencari keberadaan Harvey.

Waktu bergulir dengan cepat dan tiba saatnya pengumuman Prom Queen & King angkatan 2022. Pemenang Prom Queen dipanggil maju terlebih dahulu dan diberikan mahkota di atas kepalanya. Murid lain bertepuk tangan sambil menyerukan kata selamat kepadanya. Giliran Prom King yang dipanggil maju ke depan. Sayangnya sang pemilik nama tidak ada di tempat dan membuat semua orang keheranan. Dari awal acara dimulai mereka tidak sekali pun melihat ujung rambut maupun sepatunya dan pada panggilan yang ketiga Harvey tidak kunjung hadir. Panitia terpaksa memanggil kandidat kedua sebagai pemenang yang dipanggil maju ke depan.

Biel, sang kandidat kedua maju untuk menerima mahkota dan berdansa dengan wanita yang memenangkan gelar Queen malam ini. Both of them dance gracefully with a bit of sloppy move dan emua mata tertuju kepada pemeran utama di tengah ballroom.

Nancy yang sedang menonton dalam tenang tiba-tiba merasakan hembusan angin pada telinganya dan tanpa melirikan matanya ia sudah tahu siapa pelakunya berdasarkan wangi parfum yang akrab dengan hidungnya.

“Bagus. Baru dateng. Cicak aja udah dari tadi nongki di tembok.” Nancy berkata dengan nada ketus sambil melirik sebal yang membuahkan kekehan dari Harvey.

Katie menghampiri keduanya dengan minuman di kedua tangannya. Sebagai adik kelas yang baik Harvey menyapa Katie dengan ramah dan dibalas dengan sapaan yang tidak kalah ramah. Mereka bertiga lanjut berbincang, sesekali Nancy menumpahkan teh yang telah terjadi selama acara berlangsung. Katie juga ikut menimpali ucapan Nancy.

“Eh lagu kesukaan gue. Gue tinggal sebentar ya.” Nancy menarik tangan Katie dan mereka berdua berdansa mengikuti irama musik. Sesekali tersenyum senang yang menghangatkan hati keduanya. Harvey dibuaat ikut tersenyum melihatnya. Ia juga melihat ke arah Mahen yang menjadi Disc Jockey malam ini.

Harvey mendudukan dirinya pada bangku yang tersedia di pinggir ruangan. Memilih untuk menyendiri. Ia banya menolak orang yang mencoba mengajaknya untuk berdansa. Berharap seseorang yang sangat ia nanti mengajaknya untuk berdansa.

Do I still have a chance to ask you for a dance?”

Harvey menolehkan perhatiannya ke samping dan sebuah uluran tangan mengarah kepadanya. Dirinya tersenyum dan dengan senang hati ia terima. Harvey sudah menunggu momen ini dari sebulan yang lalu. Sebenarnya ia terlalu malu dan gengsi untuk mengajak duluan. Memlih untuk menunggu dan terus menunggu Keanu untuk mengajaknya duluan.

Keanu menunduk untuk menatap mata pria yang sedikit lebih pendek darinya. Tidak banyak kata yang diucapkan, alih-alih ia menunjukannya melalui gerakan. Ia menuntun Harvey dengan perlahan agar kakinya tidak tersandung karena salah langkah saat berdansa.

And when you leave me all alone

I'm like a stray without a home

I'm like a dog without a bone

I just want you for my own

I got to have you, babe

Keanu ikut mengucapkan lirik lagu yang mengalun membuat Harvey berdebar dan hampir menginjak kakinya sendiri kalau saja Keanu tidak memiliki reflek tubuh yang cepat untuk mencegah hal tersebut terjadi. Beberapa murid menggoda mereka berdua dan beberapa ada yang bersorak kecewa karena iri tidak mendapat kesempatan yang sama dengan Keanu.

You okay, Vey?” tanyanya khawatir. “I’m fine. Thank you, Ken, for saving my ass from touching the ground.”

Harvey menyudahi acara dansa mereka dan menarik tangan Keanu untuk menemaninya mengambil minuman.

Vey, do you mind if i take you somewhere else?” Keanu menelan ludah gugup.

Sure. Mau ke mana?” tanya Harvey. “Deket sama hotel ini kok,” jawab Keanu.

Alright, take me there.


Di sini mereka, memasuki sebuah ruangan yang berada di restoran yang letaknya tidak jauh dengan hotel tempat mereka bermalam. Harvey menelan ludahnya dengan kasar saat disuguhkan oleh ruangan di depannya. Kakinya melangkah masuk mendekati sebuah layar proyektor. Matanya menatap tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Sebuah kalimat yang familiar terpampang jelas melalui proyektor tersebut. Keanu menyerahkan sebuah remot agar Harvey bisa melihat kalimat-kalimat selanjutnya.

So, it’s you, all this time it’s always been you.” Keanu hendak menjawab tapi Harvey jauh lebih cepat berkata. “I feel stupid, Ken. I know you like me tapi gue sama sekali nggak tau kalo lu yang selama ini ngasih snack dan notes buat gue.”

Harvey berbalik menatap Keanu. “Harusnya gue sadar tulisan lo di notes dan buku gue yang pernah lo coret itu sama. Tapi dengan begonya gue nganggep itu semua cuma kebetulan.”

Now you know and it’s enough for me.” Ucap Keanu menenangkan.

“Tapi terlalu telat sadarnya.”

“Vey, gue bilang kan nggak apa-apa.”

You don’t get it how disappointed I am at myself.”

Harvey merasa bodoh sekaligus kecewa dengan dirinya sendiri. Orang yang selama ini ia cari berada di dekatnya, tapi dengan bodohnya dia tidak menyadari keberadaannya. Kepala mungilnya tertunduk memikirkan semua waktu yang terbuang akibat kebodohannya sendiri.

Tiba-tiba sebuah melodi yang amat ia kenal mengetuk indra pendengarnya. Matanya tak lagi melihat ke bawah melainkan terfokus kepada seseorang yang sedang menari dengan konyol disertai senyuman khasnya tak pernah pudar.

Tangan Harvey ditarik untuk ikut menari bersamanya. Mereka menggenggam tangan satu sama lain dan membiarkan tubuhnya bergerak sesuai irama. Lagu The Way You Make Me Feel milik Michael Jackson membuat suasana hati Harvey membaik. Keanu selalu tahu cara untuk menghiburnya.

I was made to be your personal secret admire, Harvey. I didn’t have the courage to tell you in person until we were in our senior year. I also never blame you for what happen. Gue selama ini selalu sembunyi, wajar kalo lu nggak tau.” Keanu berusaha meyakinkan Harvey kalau ini semua bukan salahnya. Bukan juga salah Keanu. Ini semua hanyalah masalah waktu sampai semuanya bisa terungkap. Harvey menatap Keanu dengan lembut.

Keanu mengelus wajah Harvey dengan ibu jarinya,“You look tired. Kita balik ke hotel aja ya.”

“Tapi makanannya gimana?” Harvey merasa sayang dengan semua makanan yang telah disajikan.

“Gampang. Snack dan notes yang belom sempet gue kasih selama sebulan bakal gue kirim ke rumah lu. Makanan yang ada di sini buat staff dan pelayan aja.” Keanu berucap dengan santai tapi justru malah membuat Harvey semakin merasa bersalah. “Hey, udah jangan sedih. Kapan-kapan kita ke sini lagi kalo lu mau. Ini restoran papa jadi lu bebas kalo mau ke sini lagi.”

Harvey mengangguk mengerti dan mengikuti Keanu untuk kembali ke mobilnya. Pergi menuju hotel tempat mereka menginap. Tak butuh waktu lama untuk sampai di parkiran mobil. Harvey dan Keanu turun dari mobil dan berjalan santai memasuki hotel.

Keanu tiba-tiba teringat sesuatu dan menghentikannya langkahnya. Ia memanggil nama Harvey dan membuat pria itu menengok ke arahnya. “Harvey, mau pacaran nggak? Kalo nggak mau nggak apa-apa,” terdapat jeda dalam kalimatnya dan ketika Harvey hendak menjawab ucapannya langsung disela Keanu, “Kita langsung nikah aja.”

Harvey yang ingin memberi jawaban langsung dibuat terperanjat. Membuat Keanu mengusap wajahnya sendiri karena merasa bodoh sudah berucap seperti tadi. Mukanya memerah memikirkan dari mana kepercayaan dirinya ia dapatkan sampai berani mengajak Harvey untuk menjadi pasangannya.

“Mau.” Harvey memeluk Keanu dan berucap dengan riang, “Heavenly yes, Keanu, I want us to boyfriends.”

Tidak kata-kata yang pas untuk menjelaskan bagaimana perasaan keduanya sekarang. Yang pasti mereka bahagia dan merasa lega sudah mengetahui perasaan masing-masing.

“Capek banget. Padahal makan, ngobrol, sama dengerin orang speech doang,” ujar Harvey yang sedang mengistirahatkan punggungnya di atas kasur.

“Baru acara makan malem belom Prom Party masa udah capek,” Rey terkekeh.

Harvey menggulingkan badannya ke arah Rey, “Sorry gue bagian dari persekutuan remaja jompo. Nggak kuat duduk lama-lama.” Rey tertawa lepas mendengar ucapan Harvey. Tidak ia sangka ternyata Harvey orang yang cukup menyenangkan. Pertemuan awal mereka tidak memberikan kesan yang baik. Mengingat hal itu Rey sedikit merasa bersalah.

“Harvey, gue mau minta maaf lebih proper. Sorry for making you feel left out beberapa bulan yang lalu. Gue udah nyoba beberapa kali buat ngajak lu ikut dalam percakapan gue sama Mahen, but I think I’m not doing enough sampe bikin lu kabur.”

Keduanya duduk berhadapan di kasur masing-masing. Harvey yang mencerna kalimat dari lawan bicaranya dan Rey yang gugup menunggu balasan dari orang di depannya.

It’s okay. Udah terjadi juga.” Jawaban Harvey sedikit membuat Rey bingung. Harvey tersenyum melihat ekspresi dari Rey. “Gue nggak suka berlarut-larut sama satu masalah. Toh we’re good now, lu sebenernya nggak perlu minta maaf lagi just to make me feel better.” Rey mengangguk mengerti.

“Orang sebaik lu kenapa masih ada aja yang benci.”

That’s how life work, Rey. Akan selalu ada orang yang benci dengan apapun yang lu lakuin. Sebaik apapun itu akan selalu keliatan salah di mata orang yang juga salah.”

“But you don’t deserve any hate.”

Harvey mengangguk setuju, “True. Tapi gue tetep nggak bisa bikin mereka suka sama gue, not even the guy I like for many years.” Rey tersedak ludahnya sendiri saat Harvey menyinggung seseorang yang sangat ia kenal. “He’s stupid for not realizing your feelings. Gue pengen banget mukul kepala Mahen pas dia cerita kalo lu nggak sengaja ngasih tau perasaan lu ke dia.”

“Besok Mahen jadi DJ. Tolong pukul aja kepalanya tapi jangan terlalu keras nanti lu masuk penjara.”

“Gue nggak keberatan masuk penjara demi lu.”

“Jangan mulai.”

“Hehehehe. Sorry.” Rey and his agenda to tease Harvey will never end.

Dengan perasaan yang berdebar Keanu hendak melangkah ke dalam kelas Harvey dengan sebungkus cookie dan notes yang tidak pernah absen.

Belum sempat mulutnya menyebut nama Harvey seseorang telah mendahuluinya. Biel memberikan satu bar coklat beserta notes yang berbentuk sama seperti miliknya.

Mata Harvey membesar ketika melihat notes yang diberikan kepadanya. Segala macam bentuk pikiran berlarian. Orang yang selama ini ia cari adalah Biel. Orang yang selama tiga tahun tidak pernah absen memberikan snack secara diam-diam dan notes bertuliskan kata-kata penyemangat, terkadang sebuah kutipan romantis dari orang terkenal. Tapi ia tidak ingin terlalu cepat mengambil kesimpulan.

Harvey berusaha untuk tetap tenang sampai Biel pamit keluar dari kelasnya. Saat itulah matanya bertemu dengan mata Keanu. Sebuah sorot sedih dan kecewa bercampur menjadi satu di bola mata Keanu atau itu hanya prasangka Harvey saja. Pria itu jalan menuju dirinya dan menyerahkan sebungkus cookie kepadanya. Putra yang duduk berjarak tidak jauh dari mereka hanya tersenyum kecil sambil menyaksikan adegan yang sudah lama ia nanti.

“Buat lu, Vey.”

Thank you, Ken.”

“Gue langsung balik ya. Udah mau bel.” Keanu pergi meninggalkan kelas Harvey tanpa mendengar balasan dari mulut Harvey.

Senyuman di wajah Putra luntur diganti dengan tanda tanya. Saudaranya tidak memberikan notes seperti yang dijanjikannya semalam. Di sisi lain Keanu berjalan sambil meremat kertas yang ia pegang lalu disimpan di saku celananya. Sementara Harvey merasa bingung, tidak biasanya Keanu berperilaku seperti tadi.