95. Harvey and His Little Thoughts
Sebenarnya ia lebih ingin untuk tinggal di rumah. Bermalas-malasan sambil menonton film favoritnya atau bermain game bersama Nancy, tapi hati kecilnya tidak tega membiarkan ibunya sendirian di acara keluarga yang lebih mirip ajang menghina.
Keluarga dari pihak ibunya terlalu banyak omong mengenai kehidupannya. Belaga menerima orientasi seksualnya tapi tak bisa berhenti berbisik jahat di belakangnya. Sok menggurui perihal ibu harus memiliki sosok pendamping, sosok pendukung, seorang suami. Padahal suami yang mereka agung-agungkan itu peduli saja tidak dengan keberadaan istrinya.
Harvey sungguh benci dengan acara keluarga dan ia lebih benci lagi kalau ibunya harus menanggung semuanya sendirian.
Hari menjelang sore akhirnya ia dan ibunya pamit berpulang diri, lebih tepatnya membebaskan diri dari sekumpulan manusia pemilik dua topeng. Mereka pulang dijemput oleh supir ayahnya.
Dalam perjalanan pulang pikirannya tidak berhenti bekerja. Ia membayangkan seandainya ibu dan ayahnya menikah apakah keluarganya akan bersikap baik atau malah sebaliknya.
Hubungan ayah dan ibunya cukup rumit dan unik untuk dijelaskan. Sang ibu memilih untuk membesarkan anaknya tanpa terikat pernikahan dan sang ayah hanya menghormati keputusan ibunya. Harvey jarang menghabiskan waktu dengan ayahnya karena sibuk bekerja, tapi sosok pria tersebut akan selalu ada kapan pun anaknya membutuhkan kehadirannya.
Secara fisik dan emosinal Harvey lebih dekat dengan ibunya. Selain karena wanita itu yang melahirkannya, ibunya memberikan seluruh waktunya untuk sang anak. Sang ibu juga selalu melindungi anaknya agar tidak mengalami hal yang sama dengan dirinya.
Saat Harvey pertama kali memberitahu kalau ia tidak suka perempuan, ibunya memberikan pelukan terhangat dan mengatakan, “Pasti berat ya selama ini pendam semuanya sendiri. Nanti kalau ada apa-apa bilang sama Mami, ya?”
Sebuah tamparan diharapkan oleh Harvey tetapi yang ia terima adalah pelukan hangat dan kalimat penenang. Harvey sayang sekali dengan ibunya melebihi apapun.
Ia hormati keputusan ibunya untuk tidak menikah dan memutuskan untuk membesarkan anak sendiri tanpa terikat dalam sebuah pernikahan. Namun kadang tidak dapat dihindari tercetusnya pikiran tentang keadaannya jika ibunya dan ayahnya menikah. Menjadi keluarga yang utuh.
Terlalu banyak yang ia pikirkan sampai tidak sadar sudah sampai di rumahnya.
“Nak Harvey, saya liat dari kaca bengong aja dari tadi. Nggak baik loh. Nanti bola matanya keluar.”
“Nanti tinggal tuker tambah sama bola mata baru, Pak.”
Ibunya tertawa melihat interaksi anaknya dengan sang supir yang sudah seperti keluarga sendiri.
“Pak, makan malam bareng, yuk, nanti baru pulang.”
“Wah jadi enak nih.” Sang supir terkekeh. “Terima kasih, ya, Bu.”
Harvey tersenyum dan masuk ke dalam rumah duluan. Menyalakan lampu untuk menerangi rumahnya yang gelap. Lalu membantu sang ibu menyiapkan makan malam.