bonjparoles

Here they are sit on the same table just like two years ago. Elle tersenyum canggung sementara Narendra tersenyum sumringah. Sesudah menyebutkan pesanan masing-masing Narendra membuka percakapan.

How's life, Gabrielle?”

Narendra memanggil nama Elle seperti dulu. Hal itu membuat pipinya sedikit bersemu.

“Kaya biasa. Nothing too good or too bad. How about you, Na?”

“Belakangan lumayan sibuk sama project besar.”

Elle mengangguk dan menyisakan keheningan di antara keduanya.

By the way, Elle, lu mikir ga kalo ini kebetulan banget? After two years kita ketemu lagi di Paris pula.”

“Kenapa ga bales chat gua?” tanya Elle to the point yang membuat Narendra tampak terkejut dengan pertanyaan yang tiba-tiba tersebut. “Nevermind,” lanjutnya.

“Wait. Hold on, I think I have been missing something.” Narendra mengeluarkan handphone dari saku celananya dan tampak membuka sebuah aplikasi. Setelah beberapa saat pria itu tiba-tiba saja menepuk dahinya.

“Elle, gua berani sumpah gua lupa banget bales chat lu. Chat kayanya kepencet, gua mau buka chat client malah buka roomchat lu. Pas chat yang kedua gua baru inget lagi dan berniat buat bales nanti pas udah selesai urusan sama client tapi malah lupa bales sampe sekarang.”

“Gabrielle Shiloh, I’m deeply sorry for this.”

Elle menghembuskan napasnya. “Kirain sengaja ga dibales. I know we were stranger and you are just being nice to me.”

No. Gua beneran lupa. Kayanya mulai sekarang gua harus ikutin sarannya Dirga buat misahin nomor kerja dan personal.” Narendra tampak kecewa dengan perbuatannya sendiri. Kepalanya tertunduk lama.

“Gua sebenernya nungguin chat dari lu. I thought you forget about me. About us in Paris.

Pesanan mereka akhirnya datang dan percakapan terhenti. Narendra mengucap terima kasih dalam bahasa prancis. Setelahnya baik Elle dan Narendra menyantap makanannya dengan tenang tanpa obrolan apapun. Seperti biasa Narendra selesai makan duluan menyisakan Elle dengan makanannya yang tinggal beberapa suap lagi.

“Gabrielle, gua mau minta maaf lagi. Gua beneran ga bermaksud kaya gitu and I’m very sorry for making you think that way. Gua bukan stranger yang berbuat baik karena terpaksa. I did that all with no pressure and because I want to.”

Elle menatap Narendra dalam diam. “Elle, kalo lu ngga mau maafin gua ngga apa-apa kok. Trus juga kalo lu ga nyaman sama gua—”

“Na, sebentar, gua lagi nguyah wortel.” Elle kembali menguyah dan menelan makanannya. “Udah ga perlu dibahas lagi. Ternyata cuma salah paham aja kan.”

Narendra mengedipkan matanya. Ia sudah membayangkan omelan dari Elle tapi ternyata pria itu hanya menganggapnya seperti angin lalu. Elle tertawa melihat ekspresi pria di depannya.

We good now?” tanya Elle.

Narendra tersenyum, “Always been good.”

Setelah sampai di hotel Narendra langsung menuju kamar Elle. Saat dalam perjalanan tadi Elle sempat memberitahukan lantai dan nomor kamar hotelnya sehingga tidak membutuhkan waktu yang lama bagi Narendra untuk menemukan kamarnya.

Elle mempersilahkan Narendra masuk saat mendengar ketukan pintu beserta suara miliki pria itu. “Ini sabunnya.” Narendra mengelurkan sebuah facial wash dari saku celananya. Pria itu tidak menggunakan plastik dan paper bag agar lebih ramah lingkungan.

“Thanks, Na, Gue cuci muka dulu ya.”

Sambil menunggu Elle selesai cuci muka Narendra duduk di salah satu kursi dan memperhatikan sekitar. Kamarnya cukup rapi untuk seseorang yang sedang menginap di hotel. Kalau dirinya tidak akan serapi ini. Baju dan celana bekas akan tersebar di mana saja selain kasurnya.

Tidak lama kemudian Elle selesai cuci muka. Pria itu mengoleskan sunscreen pada wajahnya lalu ia memakai concealer di titik wajah tertentu. Dengan telaten ia meratakan concealer tersebut. Tidak lupa juga ia menggunakan sedikit cream blush di pipi atasnya agar tidak pucat. Terakhir ia menggunakan pelembap bibir berwarna sedikit kemerahan.

Elle tampak mengagumkan. Kaos putihnya yang dipadukan dengan celana kulot warna coklat tua, ia juga menggunakan jaket kulit hitam sebagai outer. Tidak lupa sepatu boots yang dilengkapi dengan heels. Narendra yang sedang duduk tampak terkesan dengan penampilan Elle sekarang. Cantik.

“Kenapa ngeliatin mulu?”

“Hah? Oh. Nggak apa-apa. Lu hari ini keren. Pangling gua.”

Elle tersenyum angkuh. “Ke mana aja lu baru sadar gua keren.”

Narendra tertawa mendengar penuturan Elle. “Udah yuk brunch dulu. Biar ga makin lama. Udah laper banget gua.” Usai berucap Elle dan Narendra keluar dari kamar. Menuju tempat makan untuk mengisi perut keduanya yang sudah berteriak aku lapar sedari tadi.


“Akhirnya gua bisa liat Mona Lisa. Na, deg-degan deh.”

“Tenang kan ada gua, Gab.”

Kata-kata Narendra tidak membantu sama sekali. Elle malah semakin gugup ketika dipanggil seperti itu. Biasanya ia tidak suka dipanggil dengan nickname Gab atau Gaby tapi ketika Narendra yang mengucapkan kata-kata tersebut seperti ada kupu-kupu berterbangan di dalam perutnya.

“Gabrielle Shiloh, jangan ngelamun nanti dirasukin setan Prancis.”

Elle bergidik ngeri. Ia segera berjalan menyusul langkah Narendra. Sambil mengantri Narendra menjelaskan kalau di Museum ini terbagi menjadi beberapa ruangan dan Elle setuju untuk memasuki ruangan Sully terlebih dahulu. Ruangan yang terdapat lukisan Mona Lisa akan menjadi tempat yang terakhir mereka kunjungi.

Elle takjub ketika ia melihat patung Venus de Milo dengan matanya sendiri. Selama ini ia hanya melihat patung itu melalui google. Kemudian ia juga melihat patung La Victoire de Samothrace atau Winged Victory of Samothrace.

Kedua anak adam itu terus berjalan hingga akhirnya mereka tiba di ruangan yang berisi lukisan Mona Lisa. Elle tersenyum sangat bahagia. Namun senyumannya tidak bertahan lama saat melihat lautan manusia yang mengerubungi lukisan tersebut.

“Ga keliatan.” Elle mengutarakan kekecewaannya.

“Kita terobos. Pegang tangan gua biar nggak kepisah.” Tangan milik Narendra dengan cepat meraih tangan Elle dan menggengganya dengan erat. Seakan takut kalau Elle akan hilang jika tidak ia jaga dengan baik. Butuh beberapa paksaan dan dorongan hingga akhirnya mereka bisa tiba di barisan paling depan.

“Na, we made it!” Elle mengangkat tangan kanannya yang digenggam oleh Narendra yang menyebabkan badan pria itu sedikit limbung.

Jarak antara Narendra dan Elle hanya sebatas sepuluh centimeter. Elle masih belum menyadari situasinya sementara Narendra sudah menahan napasnya. Rasa gugup bertamu begitu saja. Ada rasa bahagia ketika melihat Elle yang masih menggenggam tangannya sambil tersenyum melihat lukisan yang telah digemarinya.

“Eh mau foto buat insta story.”

Elle yang hendak mengambil handphone di saku celananya mendadak kaku. Pipinya yang sudah memerah menjadi semakin merah ketika menyadari posisinya dengan Narendra. Buru-buru ia lepaskan genggaman tangan keduanya. Narendra berdeham merapikan bajunya yang masih terlihat rapi. Elle di lain sisi menyelipkan poninya yang panjang itu di belakang telinga.

Setelah mengabadikan lukisan Mona Lisa dengan handphonenya Elle segera beranjak dari tempat itu dan melihat lukisan lainnya. Elle mengamati lukisan tekenal Liberty Leading the People milik Eugène Delacroix. Lukisan itu menggambarkan mengenai perjuangan rakyat prancis dalam merebutkan kemenangan saat revolusi sedang berlangsung.

Saat sedang asik memandangi lukisan tersebut tiba-tiba ada seorang anak kecil yang menepuk kakinya. “Halo, I’m lost. Can you help me to find my Grandma?”

“Sure. We will help you. Let me talk to my friend first.” Elle berjalan ke arah Narendra yang sedang melihat lukisan lain sambil menggenggam tangan anak kecil tersebut.

“Na, dia kepisah dari neneknya, could you help me to find his Grandma?”

Narendra mengangguk, “Kita ke security dulu deh buat ngumumin soal anak hilang. Baru nanti kita sambil cari neneknya lagi.”

“C’mon kid, we gonna tell the security first, okay.”

Layaknya sepasang keluarga Elle berjalan di sebelah kanan dan Narendra di sebelah kiri. Keduanya memegang tangan anak itu agar tidak ia tidak tertinggal langkah. Sesampai di tempat security Narendra langsung berbicara menggunakan bahasa prancis yang tidak dimengerti oleh Elle. Suaranya Narendra sedikit membuatnya larut dalam imajinasinya sejenak.

“Gabrielle, mereka mau buat pengumuman lewat speaker. Nama neneknya udah dipanggil jadi kita tinggal tunggu aja.” Jelas Narendra. Tidak lama kemudian seorang nenek berpenampilan elegan datang. Si cucu segera berlari dan memeluk neneknya. Pipinya diciumi dan tubuhnya dipeluk oleh sang nenek.

“Merci de votre aide. Je ne sais pas quoi faire si tu ne l'aides lui.” (Thank you for your help. I don't know what to do if you don't help him)

Narendra membalas lagi ucapan sang nenek dengan bahasa prancis. Elle hanya tersenyum tidak mengerti. Selesai berbincang sebentar anak kecil itu menghampiri Elle lagi dan memberikan postur minta digendong. Elle mengangkat tubuh anak itu dan ia topang dengan erat agar tidak terjatuh.

“Merci belle dame.” (Thank you, beautiful lady)

Anak itu mencium sekilas pipi Elle lalu meminta untuk diturunkan. Ia menggandeng tangan neneknya dan pergi dari ruangan itu. Anak tersebut sempat berbalik badan dan melambai kepada Elle dan Narendra sebelum akhirnya hilang dari pandangan.

“Na, tadi anak kecilnya ngomong apa?” Ada hening sejenak karena Narendra yang menahan tawanya sebelum berucap, “Kata dia ‘thank you, beautiful lady.’ Lucu banget deh itu anak.”

Elle memukul bahu pria yang masih asik tertawa. Ia mengomel tidak terima karena dipanggil lady bukan sir atau mister. Anak itu ia akui memang menggemaskan tapi ia tetap tidak terima dipanggil lady.

Is it because I’m wearing a boots with heels and my long hair? Makanya dia bilang begitu?”

Relax, Gabrielle, anak kecil kan ga pernah bohong. Anggep aja tadi tuh pujian.”

“Ya, tapikan tetep aja, Na—”

“Jangan marah, Gabrielle. You look stunning and rambut panjang lu juga bikin tambah cantik.”

Elle terdiam mendengar pujian dari Narendra. Kupu-kupu kini berterbangan lagi di perutnya. Ada yang aneh dengan dirinya dan ia berusaha mengabaikan hal itu.

Let’s continue our tour, shall we?

Narendra kembali menggemgam tangan Elle. Si pemilik tangan hanya bisa terdiam sambil berusaha menahan senyumnya. Today is gonna be a long day for him.

“Narendra ini nggak pernah bawa temannya ke rumah ini. Grandpa agak kaget pas ngintip dari jendela kalo dia bawa orang lain. You must be special for him.”

“Kasian dia kalo ga ada aku bakal luntang luntung sendiri atau paling parahnya cuma diem di hotel ga ngapa-ngapain.” Pukulan di bahu diterima oleh Narendra sesudah berucap iseng.

“Kamu nih nggak sopan ngomong kaya gitu.” Si Kakek memarahi cucunya yang kelewat iseng. Narendra balas mengangkat bahu.

“Kalian istirahat gih di kamar. Udah disiapin juga sama pelayan. Makan siang nanti dianterin ke kamar kamu. Sorenya petik anggur di kebun bareng Elle.”

“Ok, grandpa.”

Kakek menganggukan kepalanya. “Kalau butuh apa-apa grandpa ada di kamar bawah.”

Setelah saling bertukar cerita selama dua jam akhirnya sang Kakek memutuskan untuk istirahat sejenak di ruangannya. Narendra membawa Elle ke kamarnya di lantai atas.

Narendra terkekeh melihat mata Elle yang terpejam beberapa saat kemudian terbuka lagi. “Ngantuk lu? Tidur aja di kasur gua. Tenang gue ga bakal berbuat aneh-aneh.”

Karena sudah kelewat ngantuk pria yang lebih kecil itu langsung merangkak naik ke atas kasur dan menggulung dirinya dalam selimut. Tenang saja sepatunya sudah dilepas dari sebelum mereka menginjakan kaki di ruang tamu. Narendra memberinya sendal rumah.

Elle tiba-tiba bangun dari tidurnya setelah selama tiga puluh menit terlelap. “Lu ga cape emangnya? Gue tidur di kursi aja.”

“Telat banget Elle nawarinnya.” Narendra tertawa lepas. “Udah sana lanjut tidur. Gue lagi ngurus kerjaan sebentar.”

“Ngerjainnya di atas kasur aja.”

Narendra menggeleng pelan. “Nggak bisa. Nanti gue malah ikutan tidur.”

“Emang lu lagi ngerjain apa deh. Kayanya sibuk banget.”

“Ngegambar rumah orang.”

Elle menunjukan raut bingung. “Gue desainer interior. Ini desainnya harus selesai minggu depan dan gue tinggal nyusun bentuk playground anaknya,” jelas Narendra

“Ohh... Okay. Gue lanjut tidur ya. Semalem susah tidur.”

Gumaman menjadi hal terakhir yang didengar Elle sebelum ia kembali ke alam mimpi. Hening kembali menemani Narendra yang sibuk berkutat dengan gambar di depannya.

Tidak berapa lama setelah pekerjaannya selesai seorang pelayan mengetuk pintu kamar membawakan mereka berdua makan siang. Sesudah makanan di letakan di meja, Narendra hendak membangunkan Elle. Niatnya ia urungkan kembali ketika melihat wajah damai Elle saat tertidur. Matanya kembali sembab. Mungkin itu penyebab Elle kurang tidur. Pria itu menghela napas ringan dan menyingkirkan anak rambut yang menghalangi wajah pria yang tertidur.

Ia menarik sebuah kursi dan duduk di samping kasur. Memasang earphone di kedua telinganya dan menonton sebuah film untuk mengisi kekosongan. Makan siangnya juga tidak ia sentuh hingga Elle bangun dari tidurnya.

Elle sedang melihat pemandangan di luar saat lagu All Too Well milik Taylor Swift terputar di mobil milik Narendra. Semua memori tentang dirinya dan Nate bersama mengalir begitu saja dalam kepalanya. Hubungan percintaan yang berlangsung selama empat tahun kandas begitu saja dalam kedipan mata. Andai mantannya itu tahu kalau Elle sering membuat skenario di mana dirinya dan Nate hidup bahagia dengan anak-anak mereka beserta anjing peliharaan yang menggemaskan.

*The scenario that was made up in Elle’s mind was a masterpiece ‘til Nate tore it all up. But without all the breakup things Elle won’t meet the person that sits right next to him. Driving his old vintage car. Is it worth it? We never know. Only Elle himself can figure it out.*


Setelah perjalanan panjang mereka akhirnya tiba di tujuan. Sebuah rumah bergaya klasik berukuran tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil berdiri dengan kokoh. Seorang pelayan membuka gerbang dan mempersilahkan mobil masuk.

Keduanya turun dari mobil. Pria yang lebih pendek jalan di belakang mengikuti temannya. Narendra yang menyadari hal tersebut berjalan mundur selangkah dan menyejajarkan tubuhnya dengan Elle. “Don’t walk behind me. You’re not a servant.” Narendra menggandeng tangan Elle agar ia tidak berjalan selangkah lebih depan lagi.

Narendra mendorong pintu utama dan mempersilahkan Elle untuk masuk duluan. Ketika mereka sudah beerada di dalam sesosok pria paruh baya berjalan menyapa mereka.

“Narendra, welcome home.”

Grandpa, I miss you very much.”

Kakek dan cucu itu berpelukan. Pemuda lain di ruangan itu menyaksikannya sambil tersenyum hangat.

I see you bring a friend. Siapa ini? Senyumnya manis.”

“Gabrielle Shiloh. Grandpa bisa panggil dia Elle aja.”

Sang Kakek jalan menghampiri dan memeluk Elle. “You have such a beautiful name. Orang tua kamu milih nama yang tepat.”

Elle tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Setelah mengamati sesaat cara bicara dan perilaku Narendra sepertinya menurun dari Kakeknya.

It’s rude to keep our guest standing in here. Ayo kita duduk di sana.” Mereka semua berjalan mengikuti Kakek setelah beliau berjalan duluan ke ruangan yang letaknya tak jauh dari ruang tamu.

Narendra sedang menikmati kopinya ketika matanya bertemu dengan mata seseorang yang telah ia nantikan pertemuan kembali keduanya.

Di sisi lain pria itu sama kagetnya. Tidak menyangka akan bertemu lagi secepat ini. Ia melemparkan senyuman sebagai sapaan.

“Elle, duduk di sini aja.” Tawarannya diterima dengan senang hati. Elle segera menduduki kursi di samping Narendra.

“Hai.”

“Hai.” Sapaan itu dibalas dengan malu-malu oleh Elle.

It's good to see you again.

Good to see you too, Na. Eh, is it okay kalo gue panggil lu, Na? Sorry lancang. Gua ga bermaksud—”

Hey, there's nothing to apologise. Panggil gue Keanu Reeves juga ngga apa-apa.” Nando dengan bangga mengatakan itu. Elle mengangguk paham.

“Elle ga mesen?”

Elle menggeleng, “Gue sebenernya lagi nyari nasi. Tadi ngeliat dari depan bentuknya kaya café atau restoran ala Indonesia ternyata bukan.” Ia menghembuskan napas kecewa.

Homesick, ya, I know restoran yang jual nasi. Mereka emang jual masakan khas Asia gitu sih. Wanna come with me?

Narendra buru-buru mengoreksi kalimatnya saat melihat Elle yang terdiam sebentar. “Eh, maksudnya kalo mau bisa gua anterin. Tenang. Gua bukan orang jahat yang mau nyulik orang kok.”

Elle tertawa kencang. “Ain't all criminal say that they will do no harm?

Hampir semua penjahat akan mengatakan dirinya orang baik. Narendra baru saja mengucapkan kalimat yang kerap kali diucapkan dengan gamblang oleh para pelaku kriminal. Elle terus tertawa ketika melihat wajah panik Narendra. Ia iseng mengusili pria itu.

“Astaga Elle ngga baik berburuk sangka. Tapi kalo orang manis kaya lu siapa sih yang ga mau buat ngambil.”

“HAH.”

“Hah. Anaknya bolot ya lu. Kupingnya budek.”

“Kurang ajar.” Pukulan pelan diterima oleh bahu pria di sampingnya.

“Elle yang baik dan manis, saya minta nomor telepon boleh ga?”

“Kalo saya ngga mau gimana, Mas?”

“Saya paksa. Pokoknya saya harus punya nomor orang manis.”

Sudah tidak terhitung berapa kali Elle tertawa ketika bertemu dengan Narendra. Pria ini benar-benar menghibur hatinya. Mungkin bagi sebagian orang tidak terlalu lucu tapi bagi Elle yang terus-terusan dilanda sedih semua kalimat milik Narendra terdengar lucu.

Narendra terus bergurau sampai pria yang duduk di sampingnya tidak kuat lagi untuk tertawa. Mereka mengakhiri sesi berbincang dengan saling bertukar nomor telepon.

Elle kembali ke hotel untuk bertukar pakaian sementara Narendra kembali memesan kopi sambil menunggu Elle kembali.

Elle masih sibuk mengusap air matanya. Ia juga sedang menunggu pesanannya datang sambil berharap menu yang dipilihnya tadi dapat mengembalikan moodnya. Tepat ketika air matanya mulai berhenti seorang waitress datang dan bertanya apakah dia bersedia untuk berbagi meja dengan seseorang karena restoran sedang penuh dan ia terlihat makan sendirian.

Ia menganggukan kepalanya tanda setuju. Makan ditemani oleh orang asing sepertinya ide yang tidak terlalu buruk. Semoga saja tidak. Orang yang dimaksud akhirnya duduk berhadapan dengan dirinya. Pria itu dengan cepat menyebutkan pesanannya seperti orang yang sudah langganan.

Et voilà votre dîner, Monsieur Gabrielle Shiloh.” Makanan Elle disajikan bersamaan dengan makanan tuan di bangku sebrangnya. “Merci,” ucap Elle.

Keduanya saling berpandangan tampak ingin mengucapkan sesuatu. Suara telepon milik Elle menginterupsi mereka, Ren menelponnya kemudian mengirim pesan kalau ia tidak sengaja menekan tombol telepon. “Dasar. Bikin kaget aja.”

“Orang Indo?”

Elle mengangguk. Tampak kaget dengan pria di depannya. “Narendra Reeves. Panggil aja Narendra. Sorry dari tadi gue ga buka suara.” Narendra menjulurkan tangannya mengajak kenalan. “Gabrielle Shiloh. Panggil El atau Elle yang mana aja boleh walau pun ngucapinnya sama aja.” Elle membalas uluran tangan Narendra.

Let’s eat first, shall we?” Narendra bertanya yang dijawab dengan anggukan oleh Elle.


So, Elle, lagi vacation di sini?”

“Iya.”

Alone?”

“Harusnya sama cowo gue tapi dia mutusin gue 30 menit sebelum pesawat berangkat. Hence, I’m here all alone by myself.”

Narendra tersedak minumannya. Kasihan sekali pria di depannya. Manusia brengsek mana yang berani berbuat setega itu kepadanya. Poor Elle.

I’m sorry you have to went through that. Semoga cowo lu kalo jalan jari kakinya kejeduk ujung kaki meja.” Kalimat yang dilontarkan oleh Narendra membuat Elle tertawa. Senyumnya indah. Infact it’s the sweetest smile he gave after three days of crying. Narendra ikut tersenyum saat mata Elle membentuk bulan sabit saat tersenyum.

“Abis makan mau ke mana lagi Elle?” Narendra kembali bertanya sambil menyandarkan punggungnya ke kursi.

“Balik ke hotel kayanya. Capek banget seharian jalan-jalan muterin di sekitar sini, you?” Elle menyuap suapan terakhir ke dalam mulutnya.

“Gue juga kayanya. Baru sampe tadi sore soalnya.”

Elle ber-oh ria lalu meneguk minumannya. Ia mengelap mulutnya dengan tissue. Keduanya diam sejenak sebelum Narendra kembali bertanya, “Sorry kalo ga sopan, I’m curious with your name, could you tell me about it?”

Yang ditanya langsung memasang raut senang. Elle paling senang jika ditanyai soal namanya karena menurut dia cerita dibalik namanya sangatlah menarik dan ia ingin satu dunia tahu.

My parents was expecting a daughter dan hasil USG juga nunjukin perempuan. Semua keluarga gue juga bilang kalo mami gue cantiknya agak ketutup gitu dan menurut orang dulu kalo kaya gitu tandanya mau punya anak perempuan.

Long story short gue lahir and boom it turns out my parents are having a son. Mereka tetep happy tapi karena nama udah terlanjur disiapin dan orang tua gue gamau kelamaan bikin birth certificate jadilah nama gue sekarang, Gabrielle Shiloh.”

Narendra membuka suara, “It’s a beautiful name. Sebenernya mau itu namanya buat cewe atau cowo yang paling penting tuh artinya ngga sih? Gue kadang sebel sama emak-emak yang bawel soal nama anak cowo yang menurut mereka terlalu feminine. What so wrong about that? Kalo bisa milih gue pengen banget punya nama Maddy kaya yang di serial film Euphoria.”

Elle kembali tertawa. Orang asing di depannya ini sungguh menarik. Terakhir ia bertemu dengan orang asing adalah dengan Nate. Sudah empat tahun yang lalu. Mengingat tentang Nate membuat moodnya kembali memburuk.

Menyadari perubahan suasana hati pria manis di depannya Narendra kembali membuka suara, “Elle, tired? Mau balik ke hotel?”

Suara milik Narendra mengembalikan kesadarannya. Elle mengangguk dan meminta bill untuk membayar pesanannya. Selesai membayar pesanan masing-masing keduanya bersiap untuk beranjak pergi.

“Narendra, thank you for your accompany. You cheer me up a little. See you again.”

Belum sempat membalas Elle sudah berbalik badan dan berjalan menjauh. “See you again, Elle, if it’s possible.” Narendra berjalan menuju hotelnya sambil menggosok kedua tangannya. Udara saat malam hari lumayan dingin baginya. Mungkin faktor umur. Semakin dewasa tubuhnya semakin renta.

Kedua orang asing itu tiba di kamar hotel masing-masing dengan perasaan campur aduk. Narendra sedikit berharap untuk bisa bertemu lagi. Elle berharap ada orang asing sebaik Narendra yang mau menemani harinya besok.

TW // Selfharm

“Hazel Cartier, stop it there.”

Hazel menghentikan pukulan kepada kepalanya dan melihat sesosok pria yang sangat dia kenal muncul dari balik lemari.

“Gue nggak tau gimana perasaan lo sekarang. Kejadian di Great Hall tadi mungkin jadi salah satu penyebabnya. I don't know. Tapi bisa stop mukulin kepala lo?”

“It feels better when I hit my head.”

“Nggak. Bohong. Sakit kan rasanya. Tadi aja lo meringis kesakitan.” Sosok pria itu jalan semakin dekat hingga berada di hadapan Hazel. Dengan sigap memegang kedua tangan Hazel yang hendak menyakiti dirinya sendiri, lagi. Menggumamkan kata No.

Hazel hendak protes tapi segera disanggah oleh pria di depannya ini, “I can make you feel better.”

“How?”

“Hug.”

Pria itu memeluk dirinya tanpa izin. Tapi Hazel juga tidak protes. Dibiarkannya pria ini memeluk dan mengusap punggungnya sambil sesekali membisikan kata, “You are safe.”

Pelukan berlangsung setengah jam. Tanpa sadar Hazel tertidur dalam sesi tersebut. Pria yang memeluknya ini tidak keberatan menemani Hazel yang tertidur tapi dia ada latihan bersama anggota Quidditch dalam waktu 15 menit lagi.

“Hey, wake up.” Hazel membuka kedua kelopak matanya perlahan. “I wish I can hug you all day long but I have a practice schedule.” Hazel diam memandangi netra pria di depannya.

“Sorry I fell asleep.”

“Nggak apa-apa. Gue yang minta maaf harus ngebangunin lo. Nanti deh abis selesai latihan you can talk to me kalo emang ada yang mau diceritain. Here, use this coupon whenever you want to talk about your problem, okay? See you at night!” Pria itu keluar dari ruangan meninggalkan Hazel dengan beberapa kupon buatan yang Hazel tidak tahu kapan pria itu membuatnya.

TW // Bullying

Time so flies fast, sekarang aku kelas 12. Masih awal semester tapi aku harap waktu berjalan dengan lebih cepat lagi. Aku sudah muak satu sekolah dengan si bangsat.

Tiada hari tanpa menggangguku dan aku bingung kenapa point house Gryffindor tidak kunjung dikurangi, walau mereka memiliki point paling rendah tetapi setiap satu anak itu membuat masalah tidak pernah aku lihat point Gryffindor berkurang. Hanya karena keluarganya banyak berkontribusi ke Hogwarts dan fakta bahwa dia mendapat privilege tersendiri di sini cukup menjawab pertanyaan yang barusan terlintas di pikiranku. Sial. Dasar anak manja.

Heyy look who's here. Our Slytherin boy seems so hungry. Lo ngambil makanan banyak banget. Dasar rakus.”

Aku hanya mendengus tidak mengindahkan perkataan Markov. Kalau ku ladeni nanti dia malah puas. Lebih baik diam dan segera menghabiskan makananku.

“Heh lo bisa nggak sih jangan gaduh sehari aja. Nevermind. Terlalu lama. Sejam aja deh.”

“Lo bukan siapa-siapa. Nggak berhak nyuruh-nyuruh,” balas Markov.

Said someone who likes to act like he is the most amazing wizard in this world. Gue, Rion, keturunan dari Weasley and my grandfather always told me to be humble. But in this case, I don't think I should humble myself for you.

Rion Weasley, wanita itu memang keren. Dia selalu berani untuk membela orang-orang sepertiku. Yang menjadi korban bully. Aku sangat ingin mentraktir dia sesuatu setidaknya sekali saja karena dia sudah berbaik hati untuk menolongku di saat Markov mulai bertindak terlalu jauh.

Well… My uncle almost dated your dear aunt if only he didn't choose to give up. And without her you are nothing. Her reputation is the one who makes your family famous.”

Lihat dia menyombongkan pamannya si Viktor Krum. Di sisi lain Rion terlihat menahan emosinya. Ucapan Markov sangat amat menyebalkan dan tentunya tidak benar sama sekali. Ibunya Fleur dan ayahnya Bill juga memiliki reputasi yang bagus. George Weasley juga sangat terkenal dikalangan para penyihir. Ucapan Markov sebenarnya sangat salah besar. Kalau saja meninju siswa tidak akan mendapat pengurangan point pasti Rion sudah melayangkan tinjunya.

One more thing, jangan pernah ganggu gue kalo gue sedang berurusan dengan manusia ini.” Markov menunjuk diriku dengan dagunya.

“Tapi Hazel itu temen, lo, berengsek,” teriak Rion tidak terima.

“Udah dibilangin nggak ada urusannya sama lo. Batu banget. Ah mood gue rusak.”

“Hazel, kali ini lo beruntung.” Setelah berkata seperti itu Markov pergi meninggalkan Great Hall diikuti Yeremia, Xavier, dan Ash. Namun Ash tampak menunjukan raut meminta maaf karena perbuatan Markov. Aku tidak menghiraukannya. Lebih baik fokus makan kembali.

Aku merasa ada yang mengganggu tidurku. Siapa sih dari tadi yang mengguncang-guncangkan badanku. Tidak tahu apa lagi tidur enak. Sebentar. Astaga aku lupa sudah tidur berapa jam. Mataku reflek terbuka dan mencari handphone hanya untuk melihat kalau sekarang sudah pukul 6.30 malam.

Untung saja aku terbangun. Eh… Sebentar tadi rasanya ada yang berusaha membangunkanku. Orang itu ternyata masih berdiri di sisi ranjang yang aku tiduri. Mataku bertemu dengan matanya yang terlihat sangat dingin. Seperti tidak ada pancaran kehidupan di sana.

“Anu.. Itu.. Aduh gimana ya ngomongnya. Makasih udah bangunin.” Kumpulan kosakata di otakku mendadak lenyap begitu saja. Aku mendadak gugup karena berusaha untuk tidak melepas kontak mata dan sepertinya pria di depanku ini mengerti. Dia hanya mengangguk dan kembali lagi ke ranjangnya.

“Tadi ada yang telpon berkali-kali,” ucapnya. “Maybe it's important.”

“Ah, iya, terima kasih.” Segera ku periksa daftar panggilan dan nama yang terpampang 'Leroy' dia pasti sekarang sedang marah karena aku tidak kunjung bangun dan mengangkat teleponnya. Aku tebak dia sedang menuju ke sini.

“Hazel Cartier, bangun dari tidur before I drag your ass to the Great Hall.” Kan benar tebakanku.

“Ayo, Markov udah duluan di Great Hall,” ajaknya. Aku dan Leroy pergi meninggalkan kamar itu menuju ke Great Hall.


Aku gugup. Sangat amat gugup. Bisakah seremoni ini dilewatkan saja atau kalau bisa 3 detik sebelum namaku disebut aku ingin lari sekencangnya dan kembali ke dunia muggle dan bersekolah di sana. Kaki jenjangku sudah siap berlari 3 detik sebelum 3… 2… 1… Hazel Cartier silahkan maju nak.

Ah sial aku menyia-nyiakan kesempatan untuk kabur. Sekarang sudah tidak ada jalan mundur. Semua mata menatapku. Oke. Aku bisa. Jangan gugup. Jangan panik. Everything will be just fine.

“Hmm… Yang satu ini isi kepalanya ribut sekali. Oh. Dirinya hampir kabur tadi, tapi niatnya diurungkan karena tidak hafal arah jalan di Hogwarts.” Seisi ruangan mendadak tertawa termasuk kedua temanku. Dasar topi sialan. “Sekarang dia menyumpah serapahiku. Sungguh murid yang menarik.” Sekarang wajahku berubah bagai kepiting rebus karena semua isi pikiranku diucapkan oleh topi ini begitu saja. Bisakah langsung sebutkan saja aku menjadi bagian dari house apa.

“Slytherin!”

Meja bagian anak-anak Slytherin bertepuk tangan menyambut anggota baru. Dengan sigap aku berlari ke arah mereka. Tepukan pada bahu dan pelukan aku terima sesampainya di meja tersebut. Ucapan sambutan tak kalah meriah menyambut.

Giliran temanku selanjutnya. Markov sebagai Gryffindor dan Leroy sebagai Ravenclaw. Persis seperti yang aku bayangkan.

Upacara seremoni malam ini sudah selesai kini kami semua kembali ke kamar yang tadi kami tempati untuk membereskan barang-barang dan menuju dorm house masing-masing. Aku sekamar dengan dua laki-laki yang namanya tidak aku ketahui. Oh, tapi yang satu lagi adalah anak yang membangunkanku tadi. Aku ingin berkenalan tapi sepertinya saat ini tidak penting. Lebih baik aku bergegas merapikan barang-barang dan segera beristirahat. Aku tidak mau terlambat masuk kelas pertamaku besok.