bonjparoles

Slipping Through My Fingers – Meryl Streep

Sudah hampir 10 menit dan yang dilakukan Daniel hanya berputar-putar bingung memilih barang apa yang cocok untuk Mikha. Ruby dari jauh hanya memandang putranya dengan tatapan penuh pujaan. Lagi. Perasaan senang, sedih, sekaligus bangga kembali menghampiri dirinya. Putra kecilnya yang dulu suka mengikutinya kemana-mana, tangan mungilnya selalu menggenggam erat tangannya ketika sedang melihat-lihat barang agar tidak kehilangan ayahnya sekarang sudah bisa apa-apa sendiri. The small hand that used to slipped between his fingers is now all grown up. The boy who can’t reach the high cabinet without his help are now capable tp do everything on his own.

Daniel menghampirinya dengan senyuman puas di wajahnya. “Ayo Dad bayar.” Semua bisa dilakukan sendiri kecuali bagian yang satu ini. Tapi tidak masalah. Akan ada waktu di mana anak-anaknya tidak lagi meminta uang kepadanya dan selagi menunggu waktu itu datang Ruby akan terus memanjakan anak-anaknya.

Sekarang mereka sedang berada di toko perlengkapan mandi dan Ruby melihat sampo wangi blueberry yang disukai Danielle, Daniela dan Daniel. Sampo yang membuat rambut Daniel menjadi kesukaan Elion.

Ruby ingat sekali pulang sekolah Daniel mengadu kalau rambutnya diciumi dan dimainkan terus oleh teman sekelasnya. “Daddy!!! Liat nih rambut Nini acak-acakan. Anak baru di kelasku itu suka banget cium-cium sama mainkan rambut. Nini no likey!” Begitu celoteh marah-marah milik putra kecilnya sepulang sekolah dan keesokan harinya Danielle dan Daniela memarahi Elion karena sudah menganggu saudaranya. Nikolei juga ikut berkacak pinggang untuk memarahi Elion dan memperingatinya kalau Daniel adalah miliknya.

“Lucu banget deh dulu mereka jadi berantem karena Eli tetep bandel mau nyiumin rambutku karena katanya aku cuma milik Tuhan bukan milik Lei. Sampai sekarang pun dia masih suka curi-curi kesempatan buat nyiumin rambut aku. Kadang-kadang dikuncir juga biar lucu katanya.” Daniel menggelengkan kepalanya mengingat kelakuan konyol temannya yang hingga saat ini masih dilakukan.

Selesai membayar belanjaannya mereka berjalan lagi ke toko berikutnya. Membeli beberapa kue manis sebelum pulang ke rumah.

“Tadi ceritanya sampai mana?” Tanyanya kepada Daniel sambil memilih-milih kue. “Eli sama Lei berantem, Dad.”

The trouble didn't stop there. Saat Nikolei dan Elion sedang bertengkar ada satu orang yang mendaptkan kesempatan yang tepat untuk mendekati Daniel. Anak itu mencuri sebuah ciuman dari pipi Daniel membuat kedua orang yang sedang sibuk adu mulut langsung memalingkan wajah mereka dan berteriak histeris sementara itu Danielle dan Daniela langsung menarik saudara mereka dan memeluknya agar tidak ada lagi yang berani menjahilinya. Sang pelaku tersenyum bangga dan menyeret Elion supaya tidak kembali bertengkar dengan Nikolei.

“Oi! Kok kamu cium Nini?” Todong Elion kepada Mikha. “Ya, suka-suka aku dong! Kan kamu dari kemarin juga cium-cium rambutnya Nini mulu masa aku ga boleh!” Kini rekan bertengkar Elion berubah menjadi Mikha.

Esok harinya Mikha kembali mencuri ciuman dari pipi gembul Daniel dan karena rasa gemas yang tak terbendung ia gigit pipi kanan temannya. Daniel yang kesal karena tidak ada jeda untuk dirinya melarikan diri dari ciuman-ciuman tak terduga langsung menangis dengan keras karena pipinya sakit sekaligus menyalurkan emosinya yang terpendam. Nikolei berlari dengan cepat menghampirinya dan memeluknya dengan erat. Daniel juga memukul Mikha karena kelewat emosi dan berakhir keduanya menangis di kelas. Elion dan Nikolei saling bertatapan bingung harus berbuat apa. Haruskah mereka juga ikut menangis seperti temannya.

“Abis itu Daddy sama Mamanya Mikha dipanggil sama guru karena kalian berdua bikin gaduh di kelas.” Ruby mengambil Macaroon kesukaan Daisy. “Daddy bujuk kamu susah banget soalnya kamu pas itu kesel banget sama Mikha sampai pengen pindah kelas.”

“Lagian mereka usil banget ke aku. Padahal anak baru tapi udah berani cium-cium. Lei aja kalo mau nyium pipiku izin dulu,” gumam Daniel.

Dicolek pipi gembul Daniel. “Mereka gemes banget sama kamu makanya sun-sun mulu. Anak Daddy bentuknya kaya boneka semua dulu gimana orang-orang pada ga gemes.”

“Tapi ga ada tuh yang berani cium Dani apalagi Niel?”

“Soalnya mereka galak dan ngelawan kalo diusilin. Kalo kamu kan diem aja dan baru meledak di akhir. Makanya jadi gampang diusilin.”

“Sekarang aku udah berani ngelawan aja mereka masih tetep cengengesan sambil ngusilin aku.”

“Karena mereka sayang kamu.”

Daniel memalingkan wajahnya ke Ruby dan melotot tidak percaya. “Mana ada sayang. Masa dari kecil sampai sekarang, semuanya sikapnya pada ga berubah,” dengus Daniel.

Ah, ternyata tidak sepenuhnya berubah. Mereka tetaplah anak-anak yang masih suka menyalurkan afeksinya dengan caranya masing-masing. Marcus yang masih menjadikan Daniel sebagai muse lagunya baik izin maupun tanpa izin. Nikolei yang gemar memberi sesuatu agar Daniel terus ingat dengan dirinya. Elion yang suka sekali dengan rambut Daniel. Mikha dengan seribu satu caranya untuk menganggu Daniel. Semuanya masih lah sama. Hanya bertumbuh semakin dewasa.

Slipping Through My Fingers – Meryl Streep

“Udah lama banget deh Daddy ga ke mall sama Nini.” Ruby tersenyum sambil menggenggam tangan anak lelaki satu-satunya. “Inget ga waktu pertama kali ke sini kamu nangis karena kaget liat banyak orang tapi Niel sama Dani langsung bertingkah macem-macem buat bikin kamu ketawa lagi. Terus kalian bertiga jadi asik sendiri lupa sama kehadiran orang-orang yang sebelumnya bikin kamu takut.” A story Ruby won't ever forget. It was his first time going out with the triplets after he was officially in a relationship with Joshua. The triplets Papi.

Daniel menggelengkan kepalanya tidak ingat dengan kejadian yang diceritakan. “Masa sih Dad. Kok aku bisa nangis deh.”

Ruby tersenyum dan kembali menceritakan bagaimana Daniel yang sekarang jauh lebih pede berbeda dengan Daniel kecil yang pemalu dan gampang menangis. He could retell the story over and over without getting bored.

“Dulu waktu kalian masih kecil Niel selalu jadi yang paling berani di antara kalian bertiga, sementara Dani jadi berani karena ada Niel di sampingnya, tapi kalo Nini beda. Ngga peduli seberani dan sepede apapun kembarannya Nini tetep jadi anak yang lebih pemalu, lebih tenang, lebih banyak takutnya, dan lebih suka main sendiri tapi di satu sisi tetep mau ada di deket saudaranya. Kalian semua walaupun masih kecil hebatnya bisa paham sama sifat masing-masing. Waktu Nini diganggu sama anak-anak di sekolah Niel sama Dani bakal maju paling depan buat lindungin kamu. Sebaliknya kalo ada yang ngatain Niel sama Dani sikapnya kaya laki-laki Nini jadi orang paling pertama buat marahin mereka. Anak-anak Daddy semuanya hebat.”

Ruby mengusap kepala Daniel dengan sayang. Setelah berjalan-jalan dan membeli smoothies mereka memtuskan untuk istirahat sebentar.

“Aku, Niel, Dani, bisa hebat karena ada Daddy. Terutama aku, ga bisa ngebayangin kalau aku harus hidup tanpa Daddy.”

Ruby yang sedang menyedot smoothies mangganya langsung mengalihkan semua atensinya kepada Daniel dan anak laki-lakinya lanjut berbicara. “Daddy jadi orang satu-satunya yang selalu ada di sisi aku setiap Papi amarahnya lagi kumat. Papi is always more stern and strict to me. Karena katanya aku anak lelaki satu-satunya dan harus ngelindungin saudara perempuanku.”

Ruby tersenyum hangat. He actually really really loves you, he is just afraid you will turn to be a bad person because of him. Ingin ia beritahu kalau Joshua juga sangat sayang kepada Daniel tapi biar lah nanti jadi urusan suaminya saat berbicara dengan Daniel.

“True. Kamu harus ngelindungin sauadara kamu dan begitu juga mereka yang ngelindungin kamu. Itu maksud Papi yang sebenernya tapi emang dasar dia susah buat terbuka sama anak-anaknya jadinya bikin salah sangka deh.” Jelasnya meluruskan hal yang bisa diluruskan tanpa membuat Daniel merasa sedih maupun Joshua terlihat jelek di mata anaknya sendiri. Daniel tampak terdiam untuk beberapa saat berusaha mencerna kalimat dari Ruby.

Tidak ingin membuat anaknya terus berlarut dalam pikirannya sendiri mulailah Ruby mengenang kembali masa kecil Daniel. “Kamu inget ga dulu begitu Daddy sama Papi nikah kamu jadi lebih manja. Sampai pas Daddy mau ada photoshoot kamu ga mau lepas dari Daddy dan akhirnya ikut buat photoshoot juga deh.”

“Inget!!! Aku sampe bolos ga ikut ke daycare bareng Dani dan Niel. Terus malemnya Papi marah karena aku ngebolos. Padahal kan Daddy udah bolehin.” Bibir tweetynya maju lima senti dan Ruby dengan gemas mencubit bibirnya. “Terus dulu pas kalian masuk TK guru-gurunya pada bingung mau manggil apa karena nama kalian kalo disebut kedengerannya sama semua terutama kamu sama Niel.”

“Aku sama Niel sampe berantem karena Niel bilang dia duluan yang klaim nama ‘Niel’ dan aku disuruh cari nama lain, sementara Daniela maunya dipanggil Dani ga mau ‘Ela’. Aku jadi bingung sendiri harus dipanggil apa. Sebenernya ‘Daniel’ aja ngga masalah tapi aku juga pengen punya nama panggilan. Sekarang kalo dipikir-pikir lucu juga aku nangis karena ga punya nama panggilan khusus.” Daniel menggeleng-gelengkan kepalanya mengingat tingkahnya dan kembarannya saat masih kecil.

“Pas kalian saling nangis termasuk Dani karena ikutan sedih ngeliat kalian nangis Papi sampai tanya sana sini buat bikin nama panggilan juga buat kamu dan akhirnya nama ‘Nini’ dari Daddy yang dipake. Daddy sama Papi udah nyiapin nama cadangan lain takut-takut kamu ga suka tapi pas liat kamu berhenti nangis dan senyum pas dipanggil ‘Nini’ hati Daddy dan Papi langsung lega.”

Hati Ruby seakan penuh ditumbuhi oleh berbagai macam bunga ketika Daniel kecil dengan gembiranya memeluk dirinya dan meminta untuk berkali-kali menyebutkan nama ‘Nini’ karena anaknya sangat senang dengan nama panggilan barunya. Setiap menjemput anak-anaknya pulang sekolah Ruby akan menyebut nama panggilan ketiga anaknya dan mereka akan berlari menghampirinya dengan kaki kecil mereka. Tidak lupa dengan rutinitas pelukan sebelum keluar dari area sekolah.

“Dad.”

“Hmm?”

“Aku tiba-tiba inget Sadam yang dulu suka ngatain aku kaya perempuan karena katanya cantik. Dia iseng ngatain mulu terus suatu hari aku kesel jadinya aku pukul tangan dia, eh, malah nangis. Ujung-ujungnya Papi marahin aku lagi karena udah mukul anak orang. Kan dia duluan yang iseng, ya, aku cuma bales.”

Ruby dan Daniel tiba-tiba saling bertatapan dan mulai tertawa. Memikirkan satu hal yang sama. Kalimat ejekan dari Sadam lebih mirip dengan pujian karena di akhir kalimat Sadam selalu berkata kalau dirinya cantik mirip perempuan tetapi menggunakan intonasi yang mengejek.

Joshua memarahi Daniel ketika mengetahui cerita lengkapnya dari Ruby. Tidak membenarkan perbuatan anaknya. Namun ia juga tidak senang ketika anaknya terus menerus diganggu jadi diajari lah Daniel bagaimana cara yang tepat untuk membalas perbuatan Sadam. Bikin kesel balik dan tunggu dia mukul duluan baru bales dan nangis sekenceng-kencengnya. Begitu tips dari Papi dan keesokan harinya langsung ia praktikan.

Saat dirinya sedang menangis datanglah Nikolei yang tiba-tiba memeluknya. Tidak banyak bicara dan terus berada di sisi Daniel hingga pulang sekolah. Hari-hari selanjutnya juga sama. Nikolei tidak pernah meninggalkan sisi Daniel bahkan ketika pergi ke toilet Nikolei akan ikut dan berjaga di depan pintu. Ibu guru yang menemani mereka hanya bisa tersenyum melihat tingkah lucu kedua murid kelas 2 SD.

“Sadam selesai terbitlah Niko yang ngikutin aku mulu. Awalnya aku risih dan hampir mau nangis pas dia terus-terusan maksa buat gandeng tanganku terus tapi tiba-tiba dia ngasih boneka beruang dan bilang aku mirip bonekanya makanya dia pengen ada di deket aku mulu karena dia paling nyaman kalo ada beruangnya.”

Akhirnya Daniel tidak lagi risih ketika Nikolei mengikuti dirinya. Pelan-pelan mereka saling memahami sifat masing-masing dan bermain bersama dan saat sudah lebih akrab Daniel memanggilnya dengan sebutan ‘Lei’ membuat Nikolei bersemu merah setiap kali Daniel memanggil dengan nama kecilnya. Nikolei juga tidak tanggung-tanggung untuk memarahi Sadam ketika mulai mengisengi Daniel kembali.

Di akhir tahun masing-masing kelas harus menampilkan sebuah pertunjukan talenta dan Daniel kalah suit dengan Sadam sehingga ia harus memainkan sebuah instrumen untuk mengiringi teman-temannya. Kembali lagi dengan ejekan andalan Sadam yang berbunyi kaya perempuan. Membuat Daniel tidak ingin memainkan piano untuk mengiringi temannya. Ia ingin memainkan gitar seperti teman lesnya Marcus tetapi jemari kecilnya tidak familiar dengan senar gitar dan dengan gitar custom milik Marcus lenngannya masih tidak sampai untuk memetik gitar.

Melihat Daniel yang kesusahan untuk memetik senar Marcus langsung mengambil gitarnya dari Daniel. Menyebabkan Daniel hampir menangis kalau ukulelenya tidak segera ia taruh di pangkuan Daniel. Marcus tahu Daniel itu keras kepala dan kalau ia ingin melakukan sesuatu pasti akan ditekuni. Tidak peduli sesusah apa rintangannya. Marcus tidak tega melihat Daniel yang frustasi sehingga ia memikirkan alternatif lain agar Daniel tetap bisa memainkan instrumen yang sama hanya saja versi mininya.

“Marcus tuh dari dulu selalu ngalah dan perhatian sama kamu. Kalian berdua juga kaya punya bonding tersendiri di antara yang lain,” ucap Ruby kembali meminum smoothienya. “Yaa… Aku udah temenan sama dia jauh lebih lama dari yang lain. Kita temenan dari sebelum aku masuk TK.”

“Lucu, ya, dari temen les musik jadi best friend forever. Orang kaya Marcus jangan sampe lepas tuh nanti nyesel kamu. He even always make a song about you.” Ruby menyandarkan wajahnya pada tangannya. Menatap putra kecilnya. “Marcus Dinara one and only muse.”

Dad, stop it!” Daniel membenamkan wajahnya di antara lengannya. “I can't be his one and only muse.”

Alis Ruby menukik, “Why not? My pretty little son deserves to be everybody's muse.”

But why me?

Because everybody has a crush on you. Ruby ingin sekali memberitahu putranya agar ia membuka matanya tetapi biarlah waktu yang menjawab.

Ruby menggelengkan kepalanya. “Ngga apa-apa. Minuman Daddy udah abis nih, mau jalan lagi?”

“Mau, pengen cari sesuatu buat Mikha buat terima kasih udah jagain aku selama sakit.”

Selama mereka berteman Mikha merupakan anak yang paling penuh afeksi. Marc seringkali menjadi korban dari pelukan dan ciuman di pipi. Tetapi kalau berhadapan dengan Daniel sikapnya berubah. Mikha lebih bermain kucing-kucingan yang membuat Daniel kecil menangis cemburu dan sebal ketika Mikha sedang berbuat iseng.

Kembarannya kemarin memperingati untuk bersiap-siap menghadapi sikap clingy ketiga temannya. Mereka tidak tahu kalau selama dirinya sakit Mikha jadi ikut clingy kepadanya. Mikha yang dulu suka bermain tarik ulur dengannya kini dengan manjanya menempeli Daniel dan yang ditempeli juga tidak menolak karena sebenarnya dia duluan yang mulai bersikap manja.

Keduanya kini saling bersandar dengan Daniel yang meletakan kepalanya di bahu kiri mikha dan mereka menonton konten-konten di tiktok. Handphone di tangan Daniel dan sesekali ia iseng scroll video selanjutnya dengan cepat. Membuat Mikha gemas dan berakhir pinggang rampingnya habis dikelitiki. Daniel tertawa begitu lepas membuat Mikha semakin gemas dan mengigit pipinya yang masih hangat karena efek dari demamnya.

“Mikha jorok banget, ih, pipi gue basah nih jadinya.” Daniel hendak membalas untuk menggigit tetapi Mikha malah menelusup ke perpotongan lehernya dan berucap, “Nini main hp mulu nanti aku aduin ya ke Papi Jo kalo anaknya ga istirahat.” Suara rendah Mikha bergetar pada samping leher dan telinganya. Daniel freeze at that moment. Unable to move a limb as he quitely shut his phone. Closing his eyes when mikha hold him closer.

Ujung hidung Mikha terus bergesekan dengan kulit leher Daniel. Mikha mengendus rambut panjangnya yang melengkung cantik di bawah telinganya. Perbuatan sahabatnya membuatnya sedikit merinding dan detak jantungnya berpacu cepat. Jadi begini yang selama ini Marc rasakan ketika Mikha dalam mode clingy 100% dan Daniel tidak terbiasa dengan sisi Mikha yang satu ini.

Mikha kini berada di atas dirinya. Matanya menatap dengan sayu dan tajam. Daniel seakan kelinci yang sedang diawasi oleh mangsanya. “Do you allow me?” Mikha bertanya dan Daniel hanya bisa mengangguk mengiyakan. Matanya kembali terpejam tidak kuat menatap sorot mata Mikha. Sebuah ciuman didaratkan pada pipi kiri dan kanan, hidungnya, matanya, dan terakhir dahinya. “Jangan sakit lagi.” Begitu ucap Mikha sambil mengusap kedua pipi kemerahannya. “Kalo ada isi pikiran yang ganggu jangan dipendem sendiri. Bagi sama aku, mau ya?”

Mikha kembali mengukungnya lagi seperti semula. Daniel never feel so small and he sheepishly nodded. Mata berbinarnya menatap mata coklat gelap orang di atasnya. Mikhanya sudah jauh berbeda. Otot hasil kerja kerasnya di gym bersama Eli membuahkan hasil. Isi pikiran Daniel berputar seakan terhipnotis dengan perbedaan yang ada. He secretly likes it when a man manhandled him. When it is Mikha.

Daniel menggeliat di atas kasurnya. Mencari posisi tidur yang enak tetapi kepalanya kembali pusing. Efek obatnya yang sudah hilang atau kelamaan tidur Daniel tidak bisa berpikir. Jadi ia memutuskan untuk bangun dan duduk sambil memijat kepalanya sendiri. Tenggorokannya juga kering. Saat ingin mengambil air minum di mejanya ternyata kosong. Dengan langkah yang berat Daniel mencoba untuk berjalan untuk mengambil air ke luar kamarnya. Baru lima langkah dirinya sudah jatuh terduduk karena terlalu pusing dan seluruh tubuhnya lemas.

Rasa ingin menangis tibsa-tiba merayap dalam dirinya dan pada akhirnya Daniel menangis kencang. Tangisan karena sakit kepala dan sekujur tubuh yang sakit berubah, menjadi tangisan karena frustasi berubah lagi, menjadi tangisan merasalah bersalah sudah merepotkan orang berubah, menjadi tangisan tentang masa depannya berubah, jadi tangisan tentang semua hal yang selama ini ia pendam sendirian. Bahunya bergetar hebat dan napasnya tersenggal-senggal.

Sunyinya rumah karena hanya dihuni oleh dua orang membuat Mikha yang sedang memasak comfort soup kesukaan Daniel langsung mematikan kompor dan berlari ke kamar. Ia melihat Daniel yang sedang terduduk tidak jauh dari kasurnya. Tanpa banyak bicara Mikha menggendong Daniel untuk duduk kembali di kasurnya. Daniel duduk menyamping di pangkuannya sambil meremas kaos Mikha. Diusapnya punggung kecil milik Daniel yang selama ini selalu tegak dan kuat.

Hatinya seakan dicubit dan dibagi menjadi beberapa bagian mendengar pujaan hatinya menangis dengan penuh pilu. Daniel memang mudah ngambek dan gampang marah. He also wore his heart on his sleeve and cry a lot over little things. Tapi jarang sekali ia menangis seakan sedang mencurahkan isi hatinya. Mikha knows and cares every little things about Daniel.

Seiring dengan meredanya tangisan Daniel diusapnya sisa-sisa air mata di wajah cantik Daniel. He got that pretty face that can make everybody jealous of him.

“Udah curhatnya? Masih ada yang mau diceritain lagi?” Tanya Mikha dengan suara selembut sutra. Daniel menggeleng sebagai jawabannya. Selama beberapa saat mereka tetap diam dalam posisi yang sama. Mikha memeluk sekaligus menopang tubuh dalam dekapannya dan Daniel meletakan kepalanya di atas bahu Mikha.

“us..” ucapnya pelan.

“Nini ngomong apa tadi?”

“Haus.. Minum.”

Mikha melihat gelas yang seharusnya ada di atas meja kini ada di lantai. Sekarang ia mengerti awal mula kenapa Daniel bisa berada di bawah. “Aku ambilin air dulu, ya, ke bawah.” Mikha hendak mendudukan Daniel di kasurnya tetapi Daniel malah memeluknya semakin kuat. “Pusing. Jangan tinggalin.” The longest sentence he said after crying his heart out. Suara Daniel terdengar cukup serak.

Bujukannya tidak mempan sama sekali. Daniel tidak mau lepas dari dirinya dan Mikha tidak punya pilihan lain selain menggendong Daniel. Bagai anak koala, ia menempel dengan erat kepada Mikha. Thanks to all the hard work on the gym kini Mikha bisa dengan mudahnya menggendong Daniel. Egonya juga sedikit membusung tinggi ketika Daniel menatapnya seakan tidak percaya ia baru saja digendong. Like he weight nothing to him.

Mikha mendudukan Daniel di atas kursi dan memberinya air hangat. Ia juga menyuapi sup yang barusan dibuat untuk Daniel. He take care of Daniel with love. Kalau ada orang yang melihat mereka bisa dianggap sebagai sepasang kekasih karena perbuatan Mikha yang sangat manis kepada Daniel. Dari tadi Mikha mondar-mandir sementara Daniel hanya duduk manis. Who thought he can be sweet and caring. Daniel try remeniscing the old days to remember something. Does Mikha has always been so sweet and he never notice until now.

Kunci pintu emergency diletakan di bawah salah satu pot tanaman dan semua teman dekat Daniel sudah diberi kepercayaan untuk mengetahui kunci tersebut. Mikha bergegas menuju kamar Daniel karena firasatnya sudah sangat tidak enak. Wajahnya menekuk heran melihat Daniel yang tertidur dengan posisi aneh ditambah dengan wajahnya yang pucat. Mikha mendekati Daniel dan memeriksa suhu badannya. He's burning. Mikha quickly text Daniel’s sisters.

Selesai menyampaikan kondisi Daniel ia baru tersadar koper Daniel masih kosong. Tergeletak begitu saja dan hanya diisi dengan peralatan mandinya, tidak ada baju sama sekali. Baju-baju yang sebelumnya sedang dipilah berserakan di lantai. Kamarnya seperti kapal pecah.

Belum sempat ia membangunkan Daniel ternyata orangnya membuka mata terlebih dahulu. Menyesuaikan matanya dengan keadaan sekitar. Mengubah posisinya menjadi duduk dan betapa terkejutnya dia ketika melihat Mikha ada di kamarnya.

“Mik?” Daniel langsung memegang kepalanya yang berdenyut. Rasa pusing seketika melanda dan ia juga sedikit menggigil. “Baringan lagi,” suara Mikha sangatlah tenang dan dengan hati-hati ia membantu Daniel untuk tiduran kembali.

“Inj jam berapa? School trip?” Diliatnya jam di handphone miliknya. “MIKHA ASTAGA GUE KETINGGALAN BUS. KITA—” Daniel panik setengah mati. Buru-buru ia turun dari tempat tidurnya tetapi rasa pusing, mual, sakit di seluruh badan langsung menyerang lagi tanpa ampun.

Easy, tiger.” Mikha menopang badan Daniel agar tidak jatuh. “It's okay. Gue udah ngabarin kembaran lu dan guru kita. Ayo naik lagi ke tempat tidur. You're burning up.” Mikha kembali membantu dirinya untuk berbaring kembali di tempat tidurnya. “Tapi lu gimana?” Tanya Daniel. “I’m fine. Lagian gue bakal merasa lebih bersalah kalo tetep berangkat ke Jogja dan ninggalin lo yang sakit sendirian.”

Med kit di mana? Gue mau cek suhu lo dulu.” Mikha mengambil thermometer dari tempat yang tadi Daniel tunjuk. Ia menyalakan alat tersebut dan menatap Daniel meminta izin untuk mengecek suhunya. “I'll do it myself.” Wajah Daniel memerah ketika sadar Mikha hendak menaruh alat pengukur suhu tersebut pada ketiaknya.

38° celcius. Suhu yang cukup tinggi tetapi Daniel menyangkal dan menyalahkan kalau alatnya rusak. Tidak mungkin ia demam dalam semalam. Padahal tidak ada hal yang ia lakukan. Except the mental breakdown part and busying himself to do this and that while crying. Mikha bersikeras untuk membawanya ke dokter tetapi Daniel tidak ingin merepotkan temannya lebih lanjut. Ia terus berkata cuma pusing sedikit nanti dibawa tidur juga sembuh. Mikha ingin sekali mencubitnya tetapi ia urungkan. Tangan Daniel ia letakan pada wajahnya dan jidatnya bertemu dengan milik Daniel.

“Sekarang percaya ga kalo suhu badan lo 38°C dan butuh ke dokter?” Mikha menatap iris mata Daniel dengan dalam dan yang ditatap semakin berwarna merah dengan kontak fisik yang tiba-tiba. Di tengah suasana yang sedang intens ini tiba-tiba perutnya bunyi. “Laper ya? Gue bikinin bubur dulu, nanti abis makan baru kita ke dokter.” Mikha pergi ke dapur untuk membuat makanan sementara Daniel masih berusaha memproses kejadian tadi.

Perasaannya saja atau Daniel merasa Mikha berkali-kali lipat sangat tampan. Apalagi saat matanya menatap mata Daniel. Bulu matanya yang panjang juga sangat indah dan tadi sebelum meninggalkan kamar ia melihat bahunya ternyata selebar dan sebesar itu. Sejak kapan sahabatnya berubah menjadi… Daniel tidak berani mengutarakan isi kepalanya. Ia kembali bersembunyi di dalam selimut sambil mempertanyakan dirinya sendiri semenjak liburan ke Bali ia sedikit demi sedikit sadar kalau satu persatu, sahabat dari kecilnya mulai terlihat menarik.

Selepas mobil Eli kembali melaju menuju rumahnya, Daniel ambil tas yang tergeletak di bawah dan ia bawa masuk ke dalam rumahnya. Belum sempat ia menuju kamarnya langkahnya sudah dihadang oleh sosok seseorang tinggi besar.

“Papi?”

“Dari mana kamu.”

Daniel mengeratkan pegangan pada tasnya. “Abis main sama Eli.”

Papinya membuang napas dan kembali berucap dengan intonasi yang tidak bersahabat. “Besok ada school trip ke Jogja. Seminggu. Bukannya beberes malah main, liat kembaran kamu udah nyiapin semuanya dari jauh-jauh hari.”

“Kalo cuma mau marahin aku lagi boleh nanti dulu ga, Pi? Aku lagi capek.” Daniel berjalan melewati Papinya.

“Kamu ini! Dari kemarin bikin orang tua naik darah terus. Mau kamu apa sih? Papi ga pernah ngajarin kamu buat kurang ajar.”

Sambil berusaha membuka pintu kamarnya Daniel juga mati-matian menahan air matanya yang akan mengalir.

“Daniel.”

Si yang punya nama menetralkan napasnya agar tidak gemetar saat hendak menjawab. “Kenapa, Pi?”

“Minggu depan Papi mau kamu udah tau mau pilih jurusan apa dan jawaban Papi tetap sama kalo kamu tetep keras kepala. No music school.”

Pintu kamarnya ditutup dengan sedikit keras mendengar kalimat terakhir yang keluar dari mulut Papinya. Air matanya turun dengan menjadi-jadi dan rasa sedih kembali menyelimutinya untuk malam ini. Baju-baju yang sedang ia kemas untuk ke Jogja selama seminggu, semuanya terkena basah air matanya. Usaha Eli untuk membuatnya bahagia hari ini tersapu sia-sia oleh air mata yang tidak kunjung berhenti mengalir.

Suara isakan tertahan langsung menyapanya. Selama beberapa menit Eli hanya terdiam dan mendengarkan Daniel yang sedang mencurahkan isi hatinya lewat raungan-raungan kecil. Sesekali Eli menjawab, “Iya. Aku di sini,” memberitahu Daniel kalau ada yang mendengarkan semua isi hatinya.

“Kenapa dari dulu cuma aku yang paling bikin Papi kecewa padahal aku anak pertama, anak lelaki satu-satunya harusnya ga bikin orang-orang kecewa mulu,” ucap Daniel sambil terisak-isak. “I’m a bad son.”

Sebuah suara protesan terdengar dari lawan bicaranya. “Heyy.. Emang ada yang ngomong begitu?” Pertanyaan retoris yang jawabannya sudah jelas. Tidak ada yang bicara begitu ke Daniel tapi ia merasa semua ini salahnya. “Ngga perlu ada yang ngomong kaya gitu tapi semuanya udah jelas kan.”

“Eli,” ucap Daniel lirih. “Mau peluk.”

Sebuah ide terlintas di benaknya. “Bawa baju bagus Nini yang mau dipake. Malam ini nginep di rumah aku.” Belum sempat Daniel menjawab Eli sudah bersuara. “I’ll be there in 20 minutes.

Daniel mengetuk pintu kamar orang tuanya. Ketika tidak mendengar jawaban, dengan ragu ia ketuk lagi pintunya. “Masuk.” Ketika Daniel membuka pintu ada Daddy yang sedang memakai rangkaian skincare agar wajahnya tetap terawat. “Dad, Papi mana?” Tanya Daniel. “Papi lagi cuci muka. Kenapa, sayang?”

Daniel mengusap tengkuknya. “Aku mau ngomong sesuatu. Soal kuliah.” Sang Papi keluar dari kamar mandi dengan wajahnya yang segar tetapi raut lelah tidak bisa dihilangkan hanya dengan sabun cuci. “Nini? Tumben ke sini?” Tanya Papi. Daniel tersenyum tipis. “Aku mau ngomong serius dan Papi sama Daddy ngga boleh nyela sebelum aku selesai. Promise?” Pinta Daniel dan kedua orang tuanya duduk di pinggir kasur sementara Daniel menarik kursi untuk duduk di depan mereka.

“Jadi, minggu kemarin aku akhirnya nemu sesuatu yang menarik minat aku untuk kuliah di jurusan itu. Aku mau kuliah jurusan musik. Mau kerja di industri musik dan nantinya aku pengen rilis lagu buatanku sendiri. Aku harap Papi sama Daddy dukung kemauanku untuk belajar dan menata karir di bidang musik.”

Daniel tidak berani menatap kedua mata orang tuanya setelah selesai berbicara. “Daniel, liat sini sayang.” Disayangnya kepala Daniel dan wajahnya dibawa untuk menatap kedua orang tuanya lagi. “Daddy dukung apapun yang Daniel mau. Selama kamu yakin sama pilihanmu Daddy bakal ada di setiap langkah kamu.” Daniel tersenyum mendapat dukungan dari Daddynya.

Namun senyum tersebut tidak bertahan lama dan segera luntur dari wajahnya. “Papi ngga setuju.” Daniel tahu jawaban apa yang akan keluar dari mulut Papinya. “I know.” Jawaban sang anak membuat wajahnya semakin mengeras. “Aku tetep akan pilih apa yang aku minatin.”

Sang Papi bangkit berdiri dan berjalan menuju balkon kamarnya. “Terserah. Papi tetep ngga setuju. Silahkan ngga usah kuliah sekalian kalo masih tetep keras kepala.” Pintu kaca menuju balkon ia geser dan ditutup dengan bantingan lumayan keras.

“Joshua!” Ketika suara bantingan pintu terdengar. “Daniel, jangan ngerasa sendiri, ya. Daddy bakal bantu ngomong ke Papi.” Dipeluknya anak lelaki satu-satunya itu dan pucuk kepalanya dicium. “Udah malem, balik ke kamar kamu terus istirahat, I love you.”

Love you too, Dad.”

Saat hendak meninggalkan kamar orang tuanya bisa ia dengar pertengkaran kecil. Satunya sedang membela dan satunya lagi menyanggah. Daniel menghela napas berharap suatu hari nanti orang yang sedang menyanggah ucapan lawannya akan luluh juga pada akhirnya.

Daniel melakukan segala macam usaha untuk menemukan minatnya tapi semua berakhir sia-sia. He still hasn't find the spark in everything he does. Sebenarnya ia cukup tertarik dengan hal berbau seni tapi kemampuannya tidak seterampil Niko yang pandai menggurat apapun di kanvas kosong. Seperti sekarang Daniel tiba-tiba minta diajari menggambar oleh Niko. Mereka kini berada di kamar Niko yang sedang memperhatikan cara Daniel menggambar. Lebih dari sekali Niko mengoreksi cara Daniel menggambar dan sampai di titik Niko frustasi karena gambarnya yang semakin kacau. Daniel akhirnya kabur ke kamar Harry—Adiknya Niko—untuk menyegarkan pikirannya sejenak. Sementara yang ia tinggal sibuk memilih menu makan malam melalui aplikasi.

Harry tertawa saat Daniel menceritakan betapa frustasinya sang kakak karena dirinya tidak kunjung berhasil menggambar satu objek. “Kak, gue mau mabar sama temen ya.” Harry beranjak dari kasurnya menuju gaming setup miliknya. “Okay. Gue pinjem mini keyboard lu, ya.” Harry mengangguk mengizinkan. Awalnya Daniel hanya menekan asal. Jenuh. Ia mencoba memainkan lagu yang dulu pernah ia mainkan sewaktu SD. Lagu paling ia ingat adalah Ibu Kita Kartini. Berlanjut ke lagu lain hingga suatu nada terlintas di otak Daniel.

Saat ia sedang mencari nada yang terus berulang di otaknya Niko datang ke kamar sang adik dan duduk di kasurnya. Ikut mendengarkan tangga nada yang sedang dicari. Dalam kurun 10 menit Daniel berhasil menyusun sebuah instrumental singkat. Niko memberikan tepuk tangan kepada Daniel yang membuatnya tersadar temannya sudah sedari tadi berada di dalam kamar. Diam dan mendengarkan permainan singkatnya. Daniel tersipu malu ketika Niko memberikannya pujian.

“Mainnya lanjut nanti lagi. Sekarang kita makan dulu,” titah Niko kepada kedua orang yang sedang sibuk pada kegiatannya masing-masing. Setelah keduanya keluar dari kamar Niko yang hendak menutup pintu memperhatikan keyboard yang sempat dimainkan oleh temannya dan tampak memikirkan sesuatu. Pikirannya buyar ketika Daniel memanggil namanya untuk segera turun. “Iyaa, sebentar.”


Keesokan harinya Daniel kembali mampir ke rumah Niko dan kali ini Niko menyuruhnya untuk membuat sebuah puisi singkat. Lalu ia harus membuat instrumen singkat yang melodinya menggambarkan dengan isi puisi yang ia tulis. It's seems hard but actually it's not. Dalam waktu kurang dari satu jam ia sudah membuat puisi dan melodi seperti yang sudah ditugaskan oleh Niko.

Lanjut ke tahap berikutnya yaitu menyamankan puisi atau sebut saja lirik dengan melodi yang sudah ia buat. Niko told Daniel to hum to search for the right note for the words. Selama Daniel terus mencoba ada Niko yang membantunya dengan pengetahuannya tentang musik yang ia dapat ketika masih anak-anak. Dengan sabar ia merekam dan mengedit lagu Daniel sebisanya. Hingga akhirnya jadi lah lagu pertama Daniel yang mereka kerjakan selama 2 jam. Daniel tampak sangat senang dan bangga dengan karya pertamanya yang walaupun sederhana tetapi mampu membangkitkan sesuatu dalam dirinya.

Niko tersenyum memperhatikan Daniel yang juga tersenyum sambil mengulang-ulang memainkan lagu pertamanya. Usapan kepala diberikan kepada Daniel yang sudah bekerja keras sebagai tanda apresiasi dari dirinya. Daniel tampak sedikit tersipu dengan perlakuan Niko yang tiba-tiba. They stare at each other for a moment. A fond looking in the eyes are given to Daniel from Niko.

“Lei,” panggilan semasa kecil yang jarang diucapkan oleh Daniel dan hanya di momen seperti ini nama tersebut akan keluar dari bibir manisnya. “Hmm?” balas Niko.

Are you doing this for…

Yes. I’m doing this for you, Ni.”

Daniel terdiam sejenak. “But why? You don't have to, you know.” Niko tersenyum. Paham dengan maksud dari kalimatnya. Daniel bukan tidak menghargai usaha dari bantuannya. Tentu saja ia sangat menghargai usaha Niko untuk membantunya mencari letak minatnya. It just Daniel being Daniel who usually do things on his own and never ask for help even when he knows he need it. Also the guilty feeling that start creeping up on him makes Daniel feel even more guilty. Hal itu malah membuat Niko semakin ingin membantunya. Apapun yang Daniel inginkan he would kill if he must.

“Ni, gue ngebantu bukan karena pengen minta sesuatu sebagai balasannya. I just simply want to help. That's all. Kemarin buat pertama kalinya gue ngeliat mata lo bersinar dan bersemangat pas lagi nyari nada buat instrumental singkat lo. Dari situ gue sadar lo berbakat buat bikin lagu. Buktinya hari ini cuma dalam 2 jam lo berhasil bikin satu lagu.”

Daniel menaikan bahunya. “It's only a simple song, Lei.

It is indeed a simple song but not everyone can make a simple song. Apalagi kalo ngga punya bakat. Makin ngga bisa deh tuh bikin lagu mau yang cuma do re mi fa sol doang. The point is I saw a potential in you. Kalo ngga dikembangin bakal sia-sia. Ini juga bisa jadi salah satu pertimbangan buat jurusan pas kuliah.”

Daniel menunduk merasa kalah sebelum bisa berjuang. “Papi won't let me go to pursue a music career. He already had that talk with Dani. Untungnya kembaran gue juga emang ngga minat buat seriusin karir musiknya. Karena dia ngga mau stress sama hobinya yang bikin dia seneng.”

Usapan lembut di kepala kembali diterimanya. “I will help you. Gue bakal bantu yakinin Papi lo untuk ngizinin ambil seni musik.” Tanpa harus melihat Niko tahu mata bening milik Daniel saat ini sedang berkaca-kaca karena terlalu banyak hal yang berlalu-lalang di pikirannya.

Nini, look at me. As I said before, I would kill if I must and I mean it. I wouldn't really kill your Papi of course. But you understand what I mean, right.”

Daniel melepas tangan Niko yang berada di dagunya dan membawanya ke dalam pelukan. “What would I do without you. I’m so grateful to have you, Lei.” Niko mengeratkan pelukannya. “Anything for you, Ni.

tw // sexual harassment, sexual assault

Bel sekolah berbunyi menandakan pelajaran telah berakhir. Waktunya para murid dan guru untuk menyudahkan aktivitas belajar mengajar. Anak-anak yang lain diperbolehkan pulang kecuali Daniel. Beberapa murid tampak ragu untuk meninggalkan Daniel sendirian di kelas dengan guru matematika tersebut karena kejadian tadi pagi yang sangat tidak etis bagi seorang guru untuk mengelus wajah muridnya. Tetapi mereka tidak ada pilihan lain karena kalau tidak segera pergi meninggalkan kelas mereka akan mendapat hukuman mengerjakan 50 soal matematika. Akhirnya tinggal Daniel dan guru itu di ruangan kelas yang sepi.

“Daniel, kerjakan soal di papan tulis!” Seperti biasa dirinya akan diminta untuk mengerjakan 5 soal di papan tulis dan di saat dirinya lengah guru tersebut akan melancarkan aksinya. Hari ini guru tersebut tampak lebih berani untuk berkontak fisik. Mulai dari mengelus wajah Daniel di pagi hari, beberapa kali tertangkap menyentuh tangannya ketika pelajaran sedang berlangsung, dan sekarang ia berdiri di belakang Daniel. Biasanya ia hanya memperhatikannya dan tidak beranjak dari kursinya.

Daniel begitu fokus mengerjakan soal agar dirinya bisa cepat pulang. Penjagaannya lengah dan tiba-tiba seseorang memeluknya dari belakang. Tangannya meraba pinggang Daniel naik turun. Reflek tubuhnya seakan beku. Daniel diam tidak berkutik. Terlalu bingung memproses situasi yang sedang terjadi. Ia hanya bisa berkata, “Sir, lepasin.” Namun pelukan di pinggangnya semakin erat. “Kalau saya lepas kamu bakal teriak ngga?” Daniel mengutuk pria itu dalam diam. Sialan sekali orang ini. Ingin sekali ia tendang buah zakar orang yang sama sekali tidak pantas menyandang status guru tapi tubuhnya benar-benar mengkhianati keinginannya. “Kamu cium saya dulu baru nanti saya lepas pelukannya. Nilai kamu juga bakal aman sampai lulus tapi kalo nolak saya pastikan kamu kesulitan.”

“Sir dan Miss bisa lihat dan denger sendiri kan apa yang lagi dilakuin sama orang pedo itu. Nini— maksud saya Daniel cuma menjalankan tugasnya sebagai siswa yang baik dan tidak kabur dari hukumannya buat mengerjakan soal matematika tapi orang yang seharusnya bersikap sebagai guru malah ngambil kesempatan dalam celah dan manfaatin posisinya buat mempersulit murid pintar kaya Daniel.”

“Sir Budi ikut saya ke ruang kepala sekolah. Sekarang.” Ucap salah satu guru. Tidak memiliki pilihan lain orang bernama Budi pergi ke ruangan kepala sekolah. “Daniel, kamu boleh pulang. Secepatnya saya pastikan dia sudah keluar dari sekolah ini. Terima kasih sudah mau berani untuk melapor kamu hebat, nak. Maaf kamu harus ngalamin hal kaya tadi.”

“Sebenernya saya takut banget, Miss, apalagi tadi… Pokoknya saya cuma berharap supaya guru itu bisa dikeluarkan secepatnya. Bukti yang udah saya dan teman-teman kumpulkan harusnya cukup ditambah sama hal yang baru saja tadi terjadi.”

Sorot mata sang guru melembut. “Kalau kamu ada niat untuk melapor ke pihak berwajib saya siap jadi saksi.”

Daniel tersenyum. “Thank you, Miss.

“Sama-sama. Kemungkinan kamu besok harus datang sekali lagi lalu dispensasi 3 hari untuk istirahat di rumah. Orang tua kamu juga besok wajib datang ke sekolah untuk mengurus beberapa hal.” Miss Sandra menghembuskan napas. “Be strong, Daniel.

I will.

Setelah Miss Sandra meninggalkan mereka Daniel mendapat pelukan yang erat dari keempat sahabatnya. Pelukan hangat yang seolah ingin menghapus peristiwa sebelumnya dan ditutup dengan tawa. Salah satu dari mereka iseng menggelitik pinggangnya.