123. Daddy and Son Day Out
Slipping Through My Fingers – Meryl Streep
“Udah lama banget deh Daddy ga ke mall sama Nini.” Ruby tersenyum sambil menggenggam tangan anak lelaki satu-satunya. “Inget ga waktu pertama kali ke sini kamu nangis karena kaget liat banyak orang tapi Niel sama Dani langsung bertingkah macem-macem buat bikin kamu ketawa lagi. Terus kalian bertiga jadi asik sendiri lupa sama kehadiran orang-orang yang sebelumnya bikin kamu takut.” A story Ruby won't ever forget. It was his first time going out with the triplets after he was officially in a relationship with Joshua. The triplets Papi.
Daniel menggelengkan kepalanya tidak ingat dengan kejadian yang diceritakan. “Masa sih Dad. Kok aku bisa nangis deh.”
Ruby tersenyum dan kembali menceritakan bagaimana Daniel yang sekarang jauh lebih pede berbeda dengan Daniel kecil yang pemalu dan gampang menangis. He could retell the story over and over without getting bored.
“Dulu waktu kalian masih kecil Niel selalu jadi yang paling berani di antara kalian bertiga, sementara Dani jadi berani karena ada Niel di sampingnya, tapi kalo Nini beda. Ngga peduli seberani dan sepede apapun kembarannya Nini tetep jadi anak yang lebih pemalu, lebih tenang, lebih banyak takutnya, dan lebih suka main sendiri tapi di satu sisi tetep mau ada di deket saudaranya. Kalian semua walaupun masih kecil hebatnya bisa paham sama sifat masing-masing. Waktu Nini diganggu sama anak-anak di sekolah Niel sama Dani bakal maju paling depan buat lindungin kamu. Sebaliknya kalo ada yang ngatain Niel sama Dani sikapnya kaya laki-laki Nini jadi orang paling pertama buat marahin mereka. Anak-anak Daddy semuanya hebat.”
Ruby mengusap kepala Daniel dengan sayang. Setelah berjalan-jalan dan membeli smoothies mereka memtuskan untuk istirahat sebentar.
“Aku, Niel, Dani, bisa hebat karena ada Daddy. Terutama aku, ga bisa ngebayangin kalau aku harus hidup tanpa Daddy.”
Ruby yang sedang menyedot smoothies mangganya langsung mengalihkan semua atensinya kepada Daniel dan anak laki-lakinya lanjut berbicara. “Daddy jadi orang satu-satunya yang selalu ada di sisi aku setiap Papi amarahnya lagi kumat. Papi is always more stern and strict to me. Karena katanya aku anak lelaki satu-satunya dan harus ngelindungin saudara perempuanku.”
Ruby tersenyum hangat. He actually really really loves you, he is just afraid you will turn to be a bad person because of him. Ingin ia beritahu kalau Joshua juga sangat sayang kepada Daniel tapi biar lah nanti jadi urusan suaminya saat berbicara dengan Daniel.
“True. Kamu harus ngelindungin sauadara kamu dan begitu juga mereka yang ngelindungin kamu. Itu maksud Papi yang sebenernya tapi emang dasar dia susah buat terbuka sama anak-anaknya jadinya bikin salah sangka deh.” Jelasnya meluruskan hal yang bisa diluruskan tanpa membuat Daniel merasa sedih maupun Joshua terlihat jelek di mata anaknya sendiri. Daniel tampak terdiam untuk beberapa saat berusaha mencerna kalimat dari Ruby.
Tidak ingin membuat anaknya terus berlarut dalam pikirannya sendiri mulailah Ruby mengenang kembali masa kecil Daniel. “Kamu inget ga dulu begitu Daddy sama Papi nikah kamu jadi lebih manja. Sampai pas Daddy mau ada photoshoot kamu ga mau lepas dari Daddy dan akhirnya ikut buat photoshoot juga deh.”
“Inget!!! Aku sampe bolos ga ikut ke daycare bareng Dani dan Niel. Terus malemnya Papi marah karena aku ngebolos. Padahal kan Daddy udah bolehin.” Bibir tweetynya maju lima senti dan Ruby dengan gemas mencubit bibirnya. “Terus dulu pas kalian masuk TK guru-gurunya pada bingung mau manggil apa karena nama kalian kalo disebut kedengerannya sama semua terutama kamu sama Niel.”
“Aku sama Niel sampe berantem karena Niel bilang dia duluan yang klaim nama ‘Niel’ dan aku disuruh cari nama lain, sementara Daniela maunya dipanggil Dani ga mau ‘Ela’. Aku jadi bingung sendiri harus dipanggil apa. Sebenernya ‘Daniel’ aja ngga masalah tapi aku juga pengen punya nama panggilan. Sekarang kalo dipikir-pikir lucu juga aku nangis karena ga punya nama panggilan khusus.” Daniel menggeleng-gelengkan kepalanya mengingat tingkahnya dan kembarannya saat masih kecil.
“Pas kalian saling nangis termasuk Dani karena ikutan sedih ngeliat kalian nangis Papi sampai tanya sana sini buat bikin nama panggilan juga buat kamu dan akhirnya nama ‘Nini’ dari Daddy yang dipake. Daddy sama Papi udah nyiapin nama cadangan lain takut-takut kamu ga suka tapi pas liat kamu berhenti nangis dan senyum pas dipanggil ‘Nini’ hati Daddy dan Papi langsung lega.”
Hati Ruby seakan penuh ditumbuhi oleh berbagai macam bunga ketika Daniel kecil dengan gembiranya memeluk dirinya dan meminta untuk berkali-kali menyebutkan nama ‘Nini’ karena anaknya sangat senang dengan nama panggilan barunya. Setiap menjemput anak-anaknya pulang sekolah Ruby akan menyebut nama panggilan ketiga anaknya dan mereka akan berlari menghampirinya dengan kaki kecil mereka. Tidak lupa dengan rutinitas pelukan sebelum keluar dari area sekolah.
“Dad.”
“Hmm?”
“Aku tiba-tiba inget Sadam yang dulu suka ngatain aku kaya perempuan karena katanya cantik. Dia iseng ngatain mulu terus suatu hari aku kesel jadinya aku pukul tangan dia, eh, malah nangis. Ujung-ujungnya Papi marahin aku lagi karena udah mukul anak orang. Kan dia duluan yang iseng, ya, aku cuma bales.”
Ruby dan Daniel tiba-tiba saling bertatapan dan mulai tertawa. Memikirkan satu hal yang sama. Kalimat ejekan dari Sadam lebih mirip dengan pujian karena di akhir kalimat Sadam selalu berkata kalau dirinya cantik mirip perempuan tetapi menggunakan intonasi yang mengejek.
Joshua memarahi Daniel ketika mengetahui cerita lengkapnya dari Ruby. Tidak membenarkan perbuatan anaknya. Namun ia juga tidak senang ketika anaknya terus menerus diganggu jadi diajari lah Daniel bagaimana cara yang tepat untuk membalas perbuatan Sadam. Bikin kesel balik dan tunggu dia mukul duluan baru bales dan nangis sekenceng-kencengnya. Begitu tips dari Papi dan keesokan harinya langsung ia praktikan.
Saat dirinya sedang menangis datanglah Nikolei yang tiba-tiba memeluknya. Tidak banyak bicara dan terus berada di sisi Daniel hingga pulang sekolah. Hari-hari selanjutnya juga sama. Nikolei tidak pernah meninggalkan sisi Daniel bahkan ketika pergi ke toilet Nikolei akan ikut dan berjaga di depan pintu. Ibu guru yang menemani mereka hanya bisa tersenyum melihat tingkah lucu kedua murid kelas 2 SD.
“Sadam selesai terbitlah Niko yang ngikutin aku mulu. Awalnya aku risih dan hampir mau nangis pas dia terus-terusan maksa buat gandeng tanganku terus tapi tiba-tiba dia ngasih boneka beruang dan bilang aku mirip bonekanya makanya dia pengen ada di deket aku mulu karena dia paling nyaman kalo ada beruangnya.”
Akhirnya Daniel tidak lagi risih ketika Nikolei mengikuti dirinya. Pelan-pelan mereka saling memahami sifat masing-masing dan bermain bersama dan saat sudah lebih akrab Daniel memanggilnya dengan sebutan ‘Lei’ membuat Nikolei bersemu merah setiap kali Daniel memanggil dengan nama kecilnya. Nikolei juga tidak tanggung-tanggung untuk memarahi Sadam ketika mulai mengisengi Daniel kembali.
Di akhir tahun masing-masing kelas harus menampilkan sebuah pertunjukan talenta dan Daniel kalah suit dengan Sadam sehingga ia harus memainkan sebuah instrumen untuk mengiringi teman-temannya. Kembali lagi dengan ejekan andalan Sadam yang berbunyi kaya perempuan. Membuat Daniel tidak ingin memainkan piano untuk mengiringi temannya. Ia ingin memainkan gitar seperti teman lesnya Marcus tetapi jemari kecilnya tidak familiar dengan senar gitar dan dengan gitar custom milik Marcus lenngannya masih tidak sampai untuk memetik gitar.
Melihat Daniel yang kesusahan untuk memetik senar Marcus langsung mengambil gitarnya dari Daniel. Menyebabkan Daniel hampir menangis kalau ukulelenya tidak segera ia taruh di pangkuan Daniel. Marcus tahu Daniel itu keras kepala dan kalau ia ingin melakukan sesuatu pasti akan ditekuni. Tidak peduli sesusah apa rintangannya. Marcus tidak tega melihat Daniel yang frustasi sehingga ia memikirkan alternatif lain agar Daniel tetap bisa memainkan instrumen yang sama hanya saja versi mininya.
“Marcus tuh dari dulu selalu ngalah dan perhatian sama kamu. Kalian berdua juga kaya punya bonding tersendiri di antara yang lain,” ucap Ruby kembali meminum smoothienya. “Yaa… Aku udah temenan sama dia jauh lebih lama dari yang lain. Kita temenan dari sebelum aku masuk TK.”
“Lucu, ya, dari temen les musik jadi best friend forever. Orang kaya Marcus jangan sampe lepas tuh nanti nyesel kamu. He even always make a song about you.” Ruby menyandarkan wajahnya pada tangannya. Menatap putra kecilnya. “Marcus Dinara one and only muse.”
“Dad, stop it!” Daniel membenamkan wajahnya di antara lengannya. “I can't be his one and only muse.”
Alis Ruby menukik, “Why not? My pretty little son deserves to be everybody's muse.”
“But why me?”
Because everybody has a crush on you. Ruby ingin sekali memberitahu putranya agar ia membuka matanya tetapi biarlah waktu yang menjawab.
Ruby menggelengkan kepalanya. “Ngga apa-apa. Minuman Daddy udah abis nih, mau jalan lagi?”
“Mau, pengen cari sesuatu buat Mikha buat terima kasih udah jagain aku selama sakit.”