90.
Selepas mobil Eli kembali melaju menuju rumahnya, Daniel ambil tas yang tergeletak di bawah dan ia bawa masuk ke dalam rumahnya. Belum sempat ia menuju kamarnya langkahnya sudah dihadang oleh sosok seseorang tinggi besar.
“Papi?”
“Dari mana kamu.”
Daniel mengeratkan pegangan pada tasnya. “Abis main sama Eli.”
Papinya membuang napas dan kembali berucap dengan intonasi yang tidak bersahabat. “Besok ada school trip ke Jogja. Seminggu. Bukannya beberes malah main, liat kembaran kamu udah nyiapin semuanya dari jauh-jauh hari.”
“Kalo cuma mau marahin aku lagi boleh nanti dulu ga, Pi? Aku lagi capek.” Daniel berjalan melewati Papinya.
“Kamu ini! Dari kemarin bikin orang tua naik darah terus. Mau kamu apa sih? Papi ga pernah ngajarin kamu buat kurang ajar.”
Sambil berusaha membuka pintu kamarnya Daniel juga mati-matian menahan air matanya yang akan mengalir.
“Daniel.”
Si yang punya nama menetralkan napasnya agar tidak gemetar saat hendak menjawab. “Kenapa, Pi?”
“Minggu depan Papi mau kamu udah tau mau pilih jurusan apa dan jawaban Papi tetap sama kalo kamu tetep keras kepala. No music school.”
Pintu kamarnya ditutup dengan sedikit keras mendengar kalimat terakhir yang keluar dari mulut Papinya. Air matanya turun dengan menjadi-jadi dan rasa sedih kembali menyelimutinya untuk malam ini. Baju-baju yang sedang ia kemas untuk ke Jogja selama seminggu, semuanya terkena basah air matanya. Usaha Eli untuk membuatnya bahagia hari ini tersapu sia-sia oleh air mata yang tidak kunjung berhenti mengalir.