60.

Daniel melakukan segala macam usaha untuk menemukan minatnya tapi semua berakhir sia-sia. He still hasn't find the spark in everything he does. Sebenarnya ia cukup tertarik dengan hal berbau seni tapi kemampuannya tidak seterampil Niko yang pandai menggurat apapun di kanvas kosong. Seperti sekarang Daniel tiba-tiba minta diajari menggambar oleh Niko. Mereka kini berada di kamar Niko yang sedang memperhatikan cara Daniel menggambar. Lebih dari sekali Niko mengoreksi cara Daniel menggambar dan sampai di titik Niko frustasi karena gambarnya yang semakin kacau. Daniel akhirnya kabur ke kamar Harry—Adiknya Niko—untuk menyegarkan pikirannya sejenak. Sementara yang ia tinggal sibuk memilih menu makan malam melalui aplikasi.

Harry tertawa saat Daniel menceritakan betapa frustasinya sang kakak karena dirinya tidak kunjung berhasil menggambar satu objek. “Kak, gue mau mabar sama temen ya.” Harry beranjak dari kasurnya menuju gaming setup miliknya. “Okay. Gue pinjem mini keyboard lu, ya.” Harry mengangguk mengizinkan. Awalnya Daniel hanya menekan asal. Jenuh. Ia mencoba memainkan lagu yang dulu pernah ia mainkan sewaktu SD. Lagu paling ia ingat adalah Ibu Kita Kartini. Berlanjut ke lagu lain hingga suatu nada terlintas di otak Daniel.

Saat ia sedang mencari nada yang terus berulang di otaknya Niko datang ke kamar sang adik dan duduk di kasurnya. Ikut mendengarkan tangga nada yang sedang dicari. Dalam kurun 10 menit Daniel berhasil menyusun sebuah instrumental singkat. Niko memberikan tepuk tangan kepada Daniel yang membuatnya tersadar temannya sudah sedari tadi berada di dalam kamar. Diam dan mendengarkan permainan singkatnya. Daniel tersipu malu ketika Niko memberikannya pujian.

“Mainnya lanjut nanti lagi. Sekarang kita makan dulu,” titah Niko kepada kedua orang yang sedang sibuk pada kegiatannya masing-masing. Setelah keduanya keluar dari kamar Niko yang hendak menutup pintu memperhatikan keyboard yang sempat dimainkan oleh temannya dan tampak memikirkan sesuatu. Pikirannya buyar ketika Daniel memanggil namanya untuk segera turun. “Iyaa, sebentar.”


Keesokan harinya Daniel kembali mampir ke rumah Niko dan kali ini Niko menyuruhnya untuk membuat sebuah puisi singkat. Lalu ia harus membuat instrumen singkat yang melodinya menggambarkan dengan isi puisi yang ia tulis. It's seems hard but actually it's not. Dalam waktu kurang dari satu jam ia sudah membuat puisi dan melodi seperti yang sudah ditugaskan oleh Niko.

Lanjut ke tahap berikutnya yaitu menyamankan puisi atau sebut saja lirik dengan melodi yang sudah ia buat. Niko told Daniel to hum to search for the right note for the words. Selama Daniel terus mencoba ada Niko yang membantunya dengan pengetahuannya tentang musik yang ia dapat ketika masih anak-anak. Dengan sabar ia merekam dan mengedit lagu Daniel sebisanya. Hingga akhirnya jadi lah lagu pertama Daniel yang mereka kerjakan selama 2 jam. Daniel tampak sangat senang dan bangga dengan karya pertamanya yang walaupun sederhana tetapi mampu membangkitkan sesuatu dalam dirinya.

Niko tersenyum memperhatikan Daniel yang juga tersenyum sambil mengulang-ulang memainkan lagu pertamanya. Usapan kepala diberikan kepada Daniel yang sudah bekerja keras sebagai tanda apresiasi dari dirinya. Daniel tampak sedikit tersipu dengan perlakuan Niko yang tiba-tiba. They stare at each other for a moment. A fond looking in the eyes are given to Daniel from Niko.

“Lei,” panggilan semasa kecil yang jarang diucapkan oleh Daniel dan hanya di momen seperti ini nama tersebut akan keluar dari bibir manisnya. “Hmm?” balas Niko.

Are you doing this for…

Yes. I’m doing this for you, Ni.”

Daniel terdiam sejenak. “But why? You don't have to, you know.” Niko tersenyum. Paham dengan maksud dari kalimatnya. Daniel bukan tidak menghargai usaha dari bantuannya. Tentu saja ia sangat menghargai usaha Niko untuk membantunya mencari letak minatnya. It just Daniel being Daniel who usually do things on his own and never ask for help even when he knows he need it. Also the guilty feeling that start creeping up on him makes Daniel feel even more guilty. Hal itu malah membuat Niko semakin ingin membantunya. Apapun yang Daniel inginkan he would kill if he must.

“Ni, gue ngebantu bukan karena pengen minta sesuatu sebagai balasannya. I just simply want to help. That's all. Kemarin buat pertama kalinya gue ngeliat mata lo bersinar dan bersemangat pas lagi nyari nada buat instrumental singkat lo. Dari situ gue sadar lo berbakat buat bikin lagu. Buktinya hari ini cuma dalam 2 jam lo berhasil bikin satu lagu.”

Daniel menaikan bahunya. “It's only a simple song, Lei.

It is indeed a simple song but not everyone can make a simple song. Apalagi kalo ngga punya bakat. Makin ngga bisa deh tuh bikin lagu mau yang cuma do re mi fa sol doang. The point is I saw a potential in you. Kalo ngga dikembangin bakal sia-sia. Ini juga bisa jadi salah satu pertimbangan buat jurusan pas kuliah.”

Daniel menunduk merasa kalah sebelum bisa berjuang. “Papi won't let me go to pursue a music career. He already had that talk with Dani. Untungnya kembaran gue juga emang ngga minat buat seriusin karir musiknya. Karena dia ngga mau stress sama hobinya yang bikin dia seneng.”

Usapan lembut di kepala kembali diterimanya. “I will help you. Gue bakal bantu yakinin Papi lo untuk ngizinin ambil seni musik.” Tanpa harus melihat Niko tahu mata bening milik Daniel saat ini sedang berkaca-kaca karena terlalu banyak hal yang berlalu-lalang di pikirannya.

Nini, look at me. As I said before, I would kill if I must and I mean it. I wouldn't really kill your Papi of course. But you understand what I mean, right.”

Daniel melepas tangan Niko yang berada di dagunya dan membawanya ke dalam pelukan. “What would I do without you. I’m so grateful to have you, Lei.” Niko mengeratkan pelukannya. “Anything for you, Ni.