74.

Daniel mengetuk pintu kamar orang tuanya. Ketika tidak mendengar jawaban, dengan ragu ia ketuk lagi pintunya. “Masuk.” Ketika Daniel membuka pintu ada Daddy yang sedang memakai rangkaian skincare agar wajahnya tetap terawat. “Dad, Papi mana?” Tanya Daniel. “Papi lagi cuci muka. Kenapa, sayang?”

Daniel mengusap tengkuknya. “Aku mau ngomong sesuatu. Soal kuliah.” Sang Papi keluar dari kamar mandi dengan wajahnya yang segar tetapi raut lelah tidak bisa dihilangkan hanya dengan sabun cuci. “Nini? Tumben ke sini?” Tanya Papi. Daniel tersenyum tipis. “Aku mau ngomong serius dan Papi sama Daddy ngga boleh nyela sebelum aku selesai. Promise?” Pinta Daniel dan kedua orang tuanya duduk di pinggir kasur sementara Daniel menarik kursi untuk duduk di depan mereka.

“Jadi, minggu kemarin aku akhirnya nemu sesuatu yang menarik minat aku untuk kuliah di jurusan itu. Aku mau kuliah jurusan musik. Mau kerja di industri musik dan nantinya aku pengen rilis lagu buatanku sendiri. Aku harap Papi sama Daddy dukung kemauanku untuk belajar dan menata karir di bidang musik.”

Daniel tidak berani menatap kedua mata orang tuanya setelah selesai berbicara. “Daniel, liat sini sayang.” Disayangnya kepala Daniel dan wajahnya dibawa untuk menatap kedua orang tuanya lagi. “Daddy dukung apapun yang Daniel mau. Selama kamu yakin sama pilihanmu Daddy bakal ada di setiap langkah kamu.” Daniel tersenyum mendapat dukungan dari Daddynya.

Namun senyum tersebut tidak bertahan lama dan segera luntur dari wajahnya. “Papi ngga setuju.” Daniel tahu jawaban apa yang akan keluar dari mulut Papinya. “I know.” Jawaban sang anak membuat wajahnya semakin mengeras. “Aku tetep akan pilih apa yang aku minatin.”

Sang Papi bangkit berdiri dan berjalan menuju balkon kamarnya. “Terserah. Papi tetep ngga setuju. Silahkan ngga usah kuliah sekalian kalo masih tetep keras kepala.” Pintu kaca menuju balkon ia geser dan ditutup dengan bantingan lumayan keras.

“Joshua!” Ketika suara bantingan pintu terdengar. “Daniel, jangan ngerasa sendiri, ya. Daddy bakal bantu ngomong ke Papi.” Dipeluknya anak lelaki satu-satunya itu dan pucuk kepalanya dicium. “Udah malem, balik ke kamar kamu terus istirahat, I love you.”

Love you too, Dad.”

Saat hendak meninggalkan kamar orang tuanya bisa ia dengar pertengkaran kecil. Satunya sedang membela dan satunya lagi menyanggah. Daniel menghela napas berharap suatu hari nanti orang yang sedang menyanggah ucapan lawannya akan luluh juga pada akhirnya.