92.

Kunci pintu emergency diletakan di bawah salah satu pot tanaman dan semua teman dekat Daniel sudah diberi kepercayaan untuk mengetahui kunci tersebut. Mikha bergegas menuju kamar Daniel karena firasatnya sudah sangat tidak enak. Wajahnya menekuk heran melihat Daniel yang tertidur dengan posisi aneh ditambah dengan wajahnya yang pucat. Mikha mendekati Daniel dan memeriksa suhu badannya. He's burning. Mikha quickly text Daniel’s sisters.

Selesai menyampaikan kondisi Daniel ia baru tersadar koper Daniel masih kosong. Tergeletak begitu saja dan hanya diisi dengan peralatan mandinya, tidak ada baju sama sekali. Baju-baju yang sebelumnya sedang dipilah berserakan di lantai. Kamarnya seperti kapal pecah.

Belum sempat ia membangunkan Daniel ternyata orangnya membuka mata terlebih dahulu. Menyesuaikan matanya dengan keadaan sekitar. Mengubah posisinya menjadi duduk dan betapa terkejutnya dia ketika melihat Mikha ada di kamarnya.

“Mik?” Daniel langsung memegang kepalanya yang berdenyut. Rasa pusing seketika melanda dan ia juga sedikit menggigil. “Baringan lagi,” suara Mikha sangatlah tenang dan dengan hati-hati ia membantu Daniel untuk tiduran kembali.

“Inj jam berapa? School trip?” Diliatnya jam di handphone miliknya. “MIKHA ASTAGA GUE KETINGGALAN BUS. KITA—” Daniel panik setengah mati. Buru-buru ia turun dari tempat tidurnya tetapi rasa pusing, mual, sakit di seluruh badan langsung menyerang lagi tanpa ampun.

Easy, tiger.” Mikha menopang badan Daniel agar tidak jatuh. “It's okay. Gue udah ngabarin kembaran lu dan guru kita. Ayo naik lagi ke tempat tidur. You're burning up.” Mikha kembali membantu dirinya untuk berbaring kembali di tempat tidurnya. “Tapi lu gimana?” Tanya Daniel. “I’m fine. Lagian gue bakal merasa lebih bersalah kalo tetep berangkat ke Jogja dan ninggalin lo yang sakit sendirian.”

Med kit di mana? Gue mau cek suhu lo dulu.” Mikha mengambil thermometer dari tempat yang tadi Daniel tunjuk. Ia menyalakan alat tersebut dan menatap Daniel meminta izin untuk mengecek suhunya. “I'll do it myself.” Wajah Daniel memerah ketika sadar Mikha hendak menaruh alat pengukur suhu tersebut pada ketiaknya.

38° celcius. Suhu yang cukup tinggi tetapi Daniel menyangkal dan menyalahkan kalau alatnya rusak. Tidak mungkin ia demam dalam semalam. Padahal tidak ada hal yang ia lakukan. Except the mental breakdown part and busying himself to do this and that while crying. Mikha bersikeras untuk membawanya ke dokter tetapi Daniel tidak ingin merepotkan temannya lebih lanjut. Ia terus berkata cuma pusing sedikit nanti dibawa tidur juga sembuh. Mikha ingin sekali mencubitnya tetapi ia urungkan. Tangan Daniel ia letakan pada wajahnya dan jidatnya bertemu dengan milik Daniel.

“Sekarang percaya ga kalo suhu badan lo 38°C dan butuh ke dokter?” Mikha menatap iris mata Daniel dengan dalam dan yang ditatap semakin berwarna merah dengan kontak fisik yang tiba-tiba. Di tengah suasana yang sedang intens ini tiba-tiba perutnya bunyi. “Laper ya? Gue bikinin bubur dulu, nanti abis makan baru kita ke dokter.” Mikha pergi ke dapur untuk membuat makanan sementara Daniel masih berusaha memproses kejadian tadi.

Perasaannya saja atau Daniel merasa Mikha berkali-kali lipat sangat tampan. Apalagi saat matanya menatap mata Daniel. Bulu matanya yang panjang juga sangat indah dan tadi sebelum meninggalkan kamar ia melihat bahunya ternyata selebar dan sebesar itu. Sejak kapan sahabatnya berubah menjadi… Daniel tidak berani mengutarakan isi kepalanya. Ia kembali bersembunyi di dalam selimut sambil mempertanyakan dirinya sendiri semenjak liburan ke Bali ia sedikit demi sedikit sadar kalau satu persatu, sahabat dari kecilnya mulai terlihat menarik.