Louvre

Setelah sampai di hotel Narendra langsung menuju kamar Elle. Saat dalam perjalanan tadi Elle sempat memberitahukan lantai dan nomor kamar hotelnya sehingga tidak membutuhkan waktu yang lama bagi Narendra untuk menemukan kamarnya.

Elle mempersilahkan Narendra masuk saat mendengar ketukan pintu beserta suara miliki pria itu. “Ini sabunnya.” Narendra mengelurkan sebuah facial wash dari saku celananya. Pria itu tidak menggunakan plastik dan paper bag agar lebih ramah lingkungan.

“Thanks, Na, Gue cuci muka dulu ya.”

Sambil menunggu Elle selesai cuci muka Narendra duduk di salah satu kursi dan memperhatikan sekitar. Kamarnya cukup rapi untuk seseorang yang sedang menginap di hotel. Kalau dirinya tidak akan serapi ini. Baju dan celana bekas akan tersebar di mana saja selain kasurnya.

Tidak lama kemudian Elle selesai cuci muka. Pria itu mengoleskan sunscreen pada wajahnya lalu ia memakai concealer di titik wajah tertentu. Dengan telaten ia meratakan concealer tersebut. Tidak lupa juga ia menggunakan sedikit cream blush di pipi atasnya agar tidak pucat. Terakhir ia menggunakan pelembap bibir berwarna sedikit kemerahan.

Elle tampak mengagumkan. Kaos putihnya yang dipadukan dengan celana kulot warna coklat tua, ia juga menggunakan jaket kulit hitam sebagai outer. Tidak lupa sepatu boots yang dilengkapi dengan heels. Narendra yang sedang duduk tampak terkesan dengan penampilan Elle sekarang. Cantik.

“Kenapa ngeliatin mulu?”

“Hah? Oh. Nggak apa-apa. Lu hari ini keren. Pangling gua.”

Elle tersenyum angkuh. “Ke mana aja lu baru sadar gua keren.”

Narendra tertawa mendengar penuturan Elle. “Udah yuk brunch dulu. Biar ga makin lama. Udah laper banget gua.” Usai berucap Elle dan Narendra keluar dari kamar. Menuju tempat makan untuk mengisi perut keduanya yang sudah berteriak aku lapar sedari tadi.


“Akhirnya gua bisa liat Mona Lisa. Na, deg-degan deh.”

“Tenang kan ada gua, Gab.”

Kata-kata Narendra tidak membantu sama sekali. Elle malah semakin gugup ketika dipanggil seperti itu. Biasanya ia tidak suka dipanggil dengan nickname Gab atau Gaby tapi ketika Narendra yang mengucapkan kata-kata tersebut seperti ada kupu-kupu berterbangan di dalam perutnya.

“Gabrielle Shiloh, jangan ngelamun nanti dirasukin setan Prancis.”

Elle bergidik ngeri. Ia segera berjalan menyusul langkah Narendra. Sambil mengantri Narendra menjelaskan kalau di Museum ini terbagi menjadi beberapa ruangan dan Elle setuju untuk memasuki ruangan Sully terlebih dahulu. Ruangan yang terdapat lukisan Mona Lisa akan menjadi tempat yang terakhir mereka kunjungi.

Elle takjub ketika ia melihat patung Venus de Milo dengan matanya sendiri. Selama ini ia hanya melihat patung itu melalui google. Kemudian ia juga melihat patung La Victoire de Samothrace atau Winged Victory of Samothrace.

Kedua anak adam itu terus berjalan hingga akhirnya mereka tiba di ruangan yang berisi lukisan Mona Lisa. Elle tersenyum sangat bahagia. Namun senyumannya tidak bertahan lama saat melihat lautan manusia yang mengerubungi lukisan tersebut.

“Ga keliatan.” Elle mengutarakan kekecewaannya.

“Kita terobos. Pegang tangan gua biar nggak kepisah.” Tangan milik Narendra dengan cepat meraih tangan Elle dan menggengganya dengan erat. Seakan takut kalau Elle akan hilang jika tidak ia jaga dengan baik. Butuh beberapa paksaan dan dorongan hingga akhirnya mereka bisa tiba di barisan paling depan.

“Na, we made it!” Elle mengangkat tangan kanannya yang digenggam oleh Narendra yang menyebabkan badan pria itu sedikit limbung.

Jarak antara Narendra dan Elle hanya sebatas sepuluh centimeter. Elle masih belum menyadari situasinya sementara Narendra sudah menahan napasnya. Rasa gugup bertamu begitu saja. Ada rasa bahagia ketika melihat Elle yang masih menggenggam tangannya sambil tersenyum melihat lukisan yang telah digemarinya.

“Eh mau foto buat insta story.”

Elle yang hendak mengambil handphone di saku celananya mendadak kaku. Pipinya yang sudah memerah menjadi semakin merah ketika menyadari posisinya dengan Narendra. Buru-buru ia lepaskan genggaman tangan keduanya. Narendra berdeham merapikan bajunya yang masih terlihat rapi. Elle di lain sisi menyelipkan poninya yang panjang itu di belakang telinga.

Setelah mengabadikan lukisan Mona Lisa dengan handphonenya Elle segera beranjak dari tempat itu dan melihat lukisan lainnya. Elle mengamati lukisan tekenal Liberty Leading the People milik Eugène Delacroix. Lukisan itu menggambarkan mengenai perjuangan rakyat prancis dalam merebutkan kemenangan saat revolusi sedang berlangsung.

Saat sedang asik memandangi lukisan tersebut tiba-tiba ada seorang anak kecil yang menepuk kakinya. “Halo, I’m lost. Can you help me to find my Grandma?”

“Sure. We will help you. Let me talk to my friend first.” Elle berjalan ke arah Narendra yang sedang melihat lukisan lain sambil menggenggam tangan anak kecil tersebut.

“Na, dia kepisah dari neneknya, could you help me to find his Grandma?”

Narendra mengangguk, “Kita ke security dulu deh buat ngumumin soal anak hilang. Baru nanti kita sambil cari neneknya lagi.”

“C’mon kid, we gonna tell the security first, okay.”

Layaknya sepasang keluarga Elle berjalan di sebelah kanan dan Narendra di sebelah kiri. Keduanya memegang tangan anak itu agar tidak ia tidak tertinggal langkah. Sesampai di tempat security Narendra langsung berbicara menggunakan bahasa prancis yang tidak dimengerti oleh Elle. Suaranya Narendra sedikit membuatnya larut dalam imajinasinya sejenak.

“Gabrielle, mereka mau buat pengumuman lewat speaker. Nama neneknya udah dipanggil jadi kita tinggal tunggu aja.” Jelas Narendra. Tidak lama kemudian seorang nenek berpenampilan elegan datang. Si cucu segera berlari dan memeluk neneknya. Pipinya diciumi dan tubuhnya dipeluk oleh sang nenek.

“Merci de votre aide. Je ne sais pas quoi faire si tu ne l'aides lui.” (Thank you for your help. I don't know what to do if you don't help him)

Narendra membalas lagi ucapan sang nenek dengan bahasa prancis. Elle hanya tersenyum tidak mengerti. Selesai berbincang sebentar anak kecil itu menghampiri Elle lagi dan memberikan postur minta digendong. Elle mengangkat tubuh anak itu dan ia topang dengan erat agar tidak terjatuh.

“Merci belle dame.” (Thank you, beautiful lady)

Anak itu mencium sekilas pipi Elle lalu meminta untuk diturunkan. Ia menggandeng tangan neneknya dan pergi dari ruangan itu. Anak tersebut sempat berbalik badan dan melambai kepada Elle dan Narendra sebelum akhirnya hilang dari pandangan.

“Na, tadi anak kecilnya ngomong apa?” Ada hening sejenak karena Narendra yang menahan tawanya sebelum berucap, “Kata dia ‘thank you, beautiful lady.’ Lucu banget deh itu anak.”

Elle memukul bahu pria yang masih asik tertawa. Ia mengomel tidak terima karena dipanggil lady bukan sir atau mister. Anak itu ia akui memang menggemaskan tapi ia tetap tidak terima dipanggil lady.

Is it because I’m wearing a boots with heels and my long hair? Makanya dia bilang begitu?”

Relax, Gabrielle, anak kecil kan ga pernah bohong. Anggep aja tadi tuh pujian.”

“Ya, tapikan tetep aja, Na—”

“Jangan marah, Gabrielle. You look stunning and rambut panjang lu juga bikin tambah cantik.”

Elle terdiam mendengar pujian dari Narendra. Kupu-kupu kini berterbangan lagi di perutnya. Ada yang aneh dengan dirinya dan ia berusaha mengabaikan hal itu.

Let’s continue our tour, shall we?

Narendra kembali menggemgam tangan Elle. Si pemilik tangan hanya bisa terdiam sambil berusaha menahan senyumnya. Today is gonna be a long day for him.