To, My first
Sadam dan Daniel kini duduk bersebelahan di sebuah ruangan yang hanya berisi mereka. Dengan perasaan sedih Daniel terus menatap kaki Sadam yang kini dibalut oleh perban dan dengan reflek tangannya memijit paha Sadam (like a cat making a cookie dough).
“It's okay Nini,” Sadam mengusap pipi Daniel dengan gemas. “Kaki kamu…” Bukannya tenang Daniel malah semakin sedih dan matanya menjadi berkaca-kaca.
Sadam dengan cepat membawa Daniel ke dalam pelukannya. “Udah, jangan nangis lagi. Aku keseleo dikit doang kok paling 2 minggu lagi sembuh. I’m all fine just like you.” Dielusnya punggung Daniel. “Nothing to be worried anymore.” He can’t stand seeing Daniel his Nini cry in front of him and he is responsible for it.
“Kangen. Banget. Aku kangen banget, Sadam.” Ucap Daniel dengan suara paling sedih yang pernah ia keluarkan seumur hidupnya. “Waktu kita tinggal sedikit lagi tapi aku malah bikin kacau dan kita jadi ga ngobrol selama seminggu. All because of my stupid goals and ambition that ruin this little time of ours.” Daniel really failed his job to be a good boyfriend for Sadam.
Belakangan ini mereka banyak bertengkar ntah siapa duluan yang memulai yang pasti Daniel sadar dirinya lah yang lebih banyak memulai pertengkaran kecil dan menyulutnya hingga menjadi besar. Semakin ia sadar waktu yang ia punya untuk bersama Sadam kian berkurang semakin Daniel menjadi sosok yang egois dan ingin memonopoli semua waktu Sadam untuk dirinya sendiri.
Latihan koreo baru hanya salah satu dari keegoisan Daniel agar ia bisa lebih lama bersama Sadam, tetapi taktiknya yang satu itu gagal total dan malah menyebabkan mereka berdua tidak berperang dingin selama seminggu.
Daniel sebenarnya ingin sekali meminta maaf duluan dan kembali bertukar rasa sayang dengan pacarnya tapi egonya yang tinggi membuatnya berpikir Sadam harusnya insiatif untuk reach out duluan dan menyudahi pertengkaran di antara mereka. We only have a little time left and you should realise that and not making this any longer.
Namun, Sadam juga punya alasannya sendiri dan pria itu tidak mau nanti jadinya mengganggu sesi latihan Daniel. Sadam ingin Nini bisa belajar percaya kepada orang lain. Ia mau saat nanti dirinya sudah pindah ke NYU Nini tetap melanjutkan rutinitasnya sebagai cheerleader dan hal ini menjadi sesuatu yang sangat berat bagi Sadam untuk melihat Nini berlatih bersama orang lain dan belajar percaya kepada seseorang selain dirinya. Sadam juga ingin egois dan memiliki Nini untuk dirinya sendiri. Ingin rasanya ia bawa Nini untuk ikut ke NYU bersama dirinya, tetapi itu bukan impian Nini.
They’ve been too hard on themselves and it hurts both of them in the same circumstances. “It’s okay. Really. Jangan minta maaf sama aku,” in Sadam’s eyes Daniel could never do a wrong thing. “You have your goals and all you do is chase them which is good. You are never wrong for doing that.” Sadam melonggarkan pelukan mereka dan ibu jarinya dibawa untuk menyeka air mata di wajah Daniel yang terus berjatuhan. “I should be the one who said sorry. Nini, I’m sorry for being selfish and forgive me for being selfish one last time,” Sadam brings their body closer and he close his eyes while his lips are slowly reaching for Daniel’s.
Their kiss is slow and romantic. Like someone who has been longing for his partner. When they pull from the kiss Daniel and Sadam smile at each other like a dumb fool in love having their first time. Daniel membawa jarinya untuk ia raba pada bibir Sadam. Bibir yang baru saja mengajaknya jatuh cinta lagi dan lagi.
Everything is all sweet and lovely again but they both know there is this one conversation they’ve been avoiding for too long and for a string of seconds of looking at each other they know this is the right time for them to finally speak the unspoken bitter truth.
Sadam membuka suaranya duluan karena ia tahu Daniel terlalu takut untuk membicarakan topik ini duluan. “Daniel, maksudnya Nini,” yang disebut namanya sempat merinding sesaat karena semenjak mereka berpacaran Sadam jarang dan malah tidak pernah memanggilnya dengan nama Daniel. “—as you said before, you don’t think you can do long distance and i’ve come to a conclusion me myself can’t do a long distance either. Let’s part our way in the nicest way possible,” even though we know it will still hurt us in the end.
Sadam menunggu respon Nini dengan hati yang gemetar. He will die instantly if his guts turn out to be wrong, making Nini cry all over again and it’s all because of him. Sudah bisa dipastikan wajahnya sekarang pucat pasi. Bibirnya yang tadi basah karena air liur Nini kini sudah kembali mengering. Ia ingin lepas kontrol untuk sekali lagi dan mencium Nini dengan caranya sendiri, Sadam rela menjadi orang gila jika itu menyangkut tentang pacarnya (soon to be ex lol).
Ia sudah berpasrah diri dan siap mengutuk dirinya berkali-kali ketika mata Nini mulai kembali berair. Namun, alih-alih menangis sedih Nini malah mengangguk dan tersenyum kepada dirinya. Bukan tipe senyuman senang yang biasa Nini berikan kepadanya, senyuman sedih yang menyimpan banyak realita yang harus diterimanya dalam keadaan mau dan tidak mau.
“Let’s part our way in the nicest way possible, Damie.” Daniel's sweet honeyed voice saying his name like reading a poet.
They don’t talk anymore. Silence fills the void, but their eyes communicate in their own way and it’s enough to make both understand it’s better in this way rather than using their voice. Sadam knows if he speaks more than one word he will bleed blood and Daniel understands him for staying silent.
No one wants this to happen but this is for the best. They are letting go of each other without having to let go of their love. Maybe someday it will fade away but Sadam will always be his first and everything. He is Daniel’s first person who made him realize he can say anything he wants as long as he knows the words won’t hurt other people. Sadam taught him not to be afraid of everything that hasn’t happened yet and to always trust himself the most. He is allowed to overthink and Sadam said it is one of his talents to predict things but let the ugly mind consume too much of himself.
First and foremost Sadam opens his eyes as well as his feelings he thought he never knew it was always there all the time. Daniel is very grateful to be able to experience life with Sadam. He will never regret the decision he made to fall in love with Sadam.
Sadam, that man will always cherish Daniel in every step he is going to take in his new chapter of life.