190.
Timing Sadam sangat pas sekali, menghampiri Daniel sebelum kating stalker itu sampai duluan.
“Sekalian pesenin gue juga dong. Laper lagi nih,” ucap Sadam sambil tersenyum lebar. Daniel yang masih setengah panik dan sudah pucat hanya bisa bergerak secara robotik. Menyebutkan pesanannya dan Sadam kemudian berjalan ke meja yang sebelumnya di tempati Sadam.
“Makasih. Makasih banget. Gue tadi panik banget.” Daniel berterima kasih berkali-kali kepada Sadam yang telah menyelamatkannya. “Sans. Tadinya gue mau manggil, eh, tapi lu malah keliatan pucet banget makanya gue chat aja. Lagian ada apa deh kalo boleh tau? Dari tadi lu ngeliatin hp mulu trus tiba-tiba jadi pucet—”
“Daniel. Gue mau ngomong sama lo.”
Shit. Orang gila ini bukannya mundur malah semakin berani mendatangi Daniel.
“Di meja sana aja Kak nanti gue susul,” tunjuk Daniel ke meja kosong yang tidak jauh dari mejanya. “Dam, ntar gue balik lagi. Gue mau ngomong dulu sama kating tadi.” Sadam nampak kaget tetapi mencoba mengerti. Daniel melihat ekspresinya sepintas seolah mengetahui sesuatu tetapi ia simpan untuk nanti. Sekarang ia harus berbicara kepada stalker rese tersebut dan menghentikan aksinya lebih cepat sebelum orang itu bertindak lebih bahaya.
“Langsung aja ya gue males basa basi.” Siapa juga yang mau basa basi. Daniel berdeham dan bersiap mendengar kalimat selanjutnya. “Gue suka sama lo. Jadi pacar gue?”
The sudden confession doesn't surprise him. He knows what will happen at the end. Daniel menghela napasnya mempersiapkan diri untuk mengucapkan kalimat yang sudah dari lama ia tahan.
“Dari sikap aku yang cuek harusnya paham dong aku ga punya ketertarikan yang sama. Secara ga sadar Kakak juga bikin aku ga nyaman. Banyak privasi aku yang ga diumbar ke orang lain tapi tiba-tiba Kakak tau, kesannya jadi kaya stalker. Jadi, maaf kalo aku ga bisa bales perasaan Kakak. Aku juga ga punya perasaan suka yang cukup buat jadi pacar Kakak sekaligus ga ngerasa nyaman sama sekali.”
Semua emosinya ia tata sebaik mungkin agar orang di depannya ini tidak sakit hati. Padahal bukan urusannya juga tapi Daniel being Daniel yang selalu merasa tidak enak. Sekarang pun dengan perasaan tidak enak ia menunggu respon dari sang kating.
“Oh. Yaudah.” Kating tersebut bangkit dari duduknya. “Gue cabut dulu ya. Bye.”
Kok gitu aja responnya. Daniel mengira setidaknya kating itu akan marah tetapi ia malah pergi dengan emosi yang tenang seolah tidak mendengar semua ucapan Daniel. Dengan perasaan campur aduk antara lega karena tidak terjadi hal gaduh dan takut kating itu akan bertindak di luar nalar, membuat kepala Daniel pusing. Badannya langsung berkeringat dingin.
“Niel. Daniel.” Suara seseorang berusaha mengembalikan kesadaran dirinya.
“Daniel. Lo pucet banget mau ke klinik aja ga?” Suara milik Sadam sedkit mengembalikan kesadarannya. “Ga perlu kok. Gue cuma lemes aja belom makan dari pagi.” Alis milik Sadam bertaut. Tidak mempercayai ucapan Daniel. “Benerann. Udah yuk makan. Sotonya keburu dingin nanti.”
Siang itu Daniel dan Sadam mengobrol layaknya teman dekat yang tidak pernah saling memusuhi satu sama lain di masa lalu. Sadam juga tidak mengungkit mengenai kejadian sebelumnya.